Di ruang tamu berukuran 2,5 meter kali 4 meter, Eko Saputro atau akrab disapa Koko menyambut detikJateng di rumahnya Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo. Koko membuka foto album yang berisikan gambar saat Aneka Ria Srimulat manggung.
Ditemani teh hangat, dan bau obat nyamuk bakar, Koko mengenang era kejayaan Srimulat yang dibentuk oleh ayahnya, yakni Teguh Slamet Rahardjo.
Pernah mengalami pasang-surut, Srimulat meraih kejayaan di era tahun 60 hingga 80-an. Sejumlah nama besar muncul dari panggung Srimulat, seperti Asmuni, Nunung, Tukul, Tarsan, Tessy, Kadir, Doyok, Gogon, Timbul, Jhony Gudel, Mamiek, dan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di era kejayaannya, panggung Srimulat ada di Surabaya, Semarang, Solo, Jakarta, dan bahkan mengisi di TVRI. Setelah sekian tahun sukses menghadirkan gelak tawa, Srimulat mulai bertemu titik kelam, hingga mengharuskan Teguh memutuskan untuk membubarkan Srimulat.
Koko bercerita, saat itu pernah mengajak ayahnya ke pusat perbelanjaan Sri Ratu Semarang, untuk melihat pameran parabola. Teguh yang senang, membeli parabola yang paling besar, dan televisi untuk menyaksikan program televisi dari stasiun televisi luar negeri. Sebab, saat itu siaran televisi nasional hanya ada TVRI.
"Setelah beberapa bulan dia lihat, bapak resah. Dia bilang senang memiliki parabola. Tapi di sisi lain dia sedih, karena kalau ada TV swasta di Indonesia, semua kesenian tradisional akan hancur. Karena orang di rumah tinggal pencet, TV-nya macam-macam, dan acaranya bagus-bagus. Kalau sampai itu terjadi, satu saja (TV swasta), Srimulat harus dibubarkan," kata Koko kepada detikJateng di kediamannya, di Sumber, Banjarsari, Solo, Kamis (3/8/2023) malam.
Pernyataan itu sontak membuat Koko kaget, karena Srimulat masih berjaya. Di sisi lain, Koko telah belajar banyak dari Srimulat, hingga akan dijadikan pegangan untuk hidupnya ke depan.
Beberapa waktu kemudian, yang dikhawatirkan Teguh terjadi. Koko dilihatkan pemberitaan di koran jika akan berdiri stasiun tv swasta pertama di Indonesia.
Memasuki usia senja, Teguh sebenarnya sudah melepaskan kendali atas Srimulat. Dia memilih di rumah bersama istri keduanya, Djudjuk. Setelah Raden Ayu Srimulat meninggal dunia, Teguh menikah lagi dengan Djudjuk.
Saat itu, kendali grup Srimulat di Surabaya dipasrahkan kepada Bambang Tejo, di Jakarta kepada Hendro, dan di Semarang kepada Sarjito. Seiring berkembangnya waktu, grup Srimulat di tiga kota itu mengalami masa sulit. Di sisi lain, TV Swasta mulai mengudara di Indonesia.
"Tak selang lama, ada stasiun TV swasta yang akan berdiri. Niat bapak untuk membubarkan Srimulat semakin bulat. Dia bilang 'yen ra ngono awake dewe ajur, bondoku iso entek ketarik kegerus kui. Koe arep nomboki piro wae tetep kalah, awake dewe ra mungkin iso menang' (Kalau tidak begitu kita yang hancur. Hartaku bisa habis tersedot. Kamu mau nombok berapapun, kita tak mungkin menang)," ujar Koko.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Teguh meminta agar Koko tak menceritakan kepada Djudjuk. Sebab, hal itu akan membuat sang istri pasti tidak setuju. Dan jika rencana ini bocor ke pemain, akan menimbulkan kepanikan.
Sebelum membubarkan Srimulat, Koko mengatakan jika Teguh melakukan berbagai upaya untuk memberikan penghidupan kepada pemainnya setelah lepas dari Srimulat. Selain pesangon, Teguh bekerjasama dengan Pemkot Solo untuk membuatkan rumah seniman yang bisa diangsur murah.
"Saat itu bapak strateginya yang di Solo itu, kalau dibubarkan otomatis pemainnya tidak punya rumah. Waktu itu minta sama Pemda untuk dibuatkan rumah seniman, ngangsur murah banget. Setelah itu dibubarkan. Pemainnya juga dikasih pesangon," ucapnya.
Anggota Srimulat Solo yang enggan meninggalkan bendera Srimulat, sebagian memilih bergabung dengan grup Srimulat yang ada di Semarang. Di sisi lain, Grup Jakarta juga mengalami guncangan dan harus dibubarkan. Sebagian seniman di Jakarta juga memutuskan untuk bergabung ke Semarang, sebelum grup Semarang juga dibubarkan.
"Waktu itu hanya menyisakan yang ada di Surabaya, karena itu seperti monumennya Srimulat. Sempat gonta-ganti pimpinan dan manajemen, dan THR dibangun lebih bagus. Tapi muncul mal di depan THR yang membuat THR mati, tak hanya Srimulatnya. Saya sama bapak pernah lihat ke sana, penonton hanya 20-an dari 800 kursi penonton," ucapnya.
Hingga akhirnya, panggung Srimulat di THR Surabaya juga harus ditutup.
Simak Video "Video: Kadir Srimulat Kini Jadi Afiliator, Raup Puluhan Juta per Bulan"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)