Grup lawak Aneka Ria Srimulat atau lebih akrab disapa Srimulat, merupakan salah satu komunitas seniman yang telah melegenda. Grup itu didirikan seniman asal Solo, Teguh Slamet Rahardjo, bersama istrinya Raden Ayu Srimulat. Nama Srimulat sendiri diambil dari nama panggilan istri Teguh.
Putra Teguh, Eko Saputro atau akrab disapa Koko mengatakan, berdirinya Srimulat tak lepas dari kisah asmara Teguh dengan Sri. Mereka saling bertemu dan tumbuh bibit-bibit asmara karena sering konser bersama dalam grup keroncong.
"Di keroncong bapak sering memegang gitar, namun juga bisa memainkan biola dan saksofon. Saat itu, kata teman-teman bapak, bapak dijeluki master melodi keroncong. Saat itu, Bu Sri sudah sangat diidolakan, mungkin istilahnya sekarang diva, primadonanya keroncong," kata Koko kepada detiJateng di kediamannya, di Sumber, Banjarsari, Solo, Kamis (3/8/2023) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar tahun 1950-an, hubungan Teguh dan Sri semakin serius hingga mereka menikah. Mereka kemudian membuat grup Keroncong Avond. Saat itu, grup itu masih murni keroncong. Sri sering menyanyikan lagu kopi susu, bunga anggrek, dan lagu dalam Bahasa Belanda, sesuai permintaan.
Sering berjalannya waktu, grup Keroncong Avond berganti nama menjadi Gema Malam Srimulat pada tahun 1953. Teguh kemudian mengajak dagelan Mataram asal Jogja seperti Ranudikromo untuk ikut mengisi saat mereka pentas. Awalnya lawakan ini hanya untuk selingan saat pementasan musik keroncong.
"Suatu ketika Bu Sri kedatangan grup pelawak dari Jogja, saat kelilingan. Teman-teman Jogja sering gojekan (bercanda) Mereka kemudian diajak saat Srimulat tampil. Di akhir pertunjukan MC, pelawak dari Jogja, dan Bu Sri lempar-lemparan joke. Bapak memperhatikan dari belakang, kok apik," ujarnya.
Usai pementasan itu, Teguh tidak bisa tidur memikirkan pertunjukan tersebut. Dia melihat aksi jenaka dari penampil di akhir konser itu bisa dikembangkan lagi, dan menjadi suatu keunikan. Hingga akhirnya Teguh meminta kepada istrinya untuk mengajak temannya ikut dalam setiap penampilan Gema Malam Srimulat.
MC yang awalnya bertugas memandu acara, menjadi ikut mencairkan acara dengan pertunjukan jenaka bersama sejumlah pelawak asal Jogja dan Sri. Teguh menilai adanya pertunjukan komedi di sela-sela acara musik keroncong itu membuat acara semakin hidup dan menghibur.
"Saat itu ada tiga pelawak dari Yogyakarta. Awalnya mereka tampil di sela-sela keroncongan dan lebih meriah. Sama bapak dibikin satu sajian lengkap tersendiri, lagu keroncong, setelah itu 30 menit terakhir lawakan. Yang terakhir konsepnya berubah lagi, main enam lagu, lawak, lagu lagi, kemudian lawakan lagi," ucapnya.
Selengkapnya di halaman berikut.
Terpisah, penulis buku Berpacu Dalam Komedi dan Melodi Teguh Srimulat, Herry Gendut Janarto mengatakan setelah pentas keliling di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Gema Malam Srimulat kemudian hijrah untuk bermain regular di THR Surabaya pada tahun 1961. Saat itu Srimulat bermain dengan konsep yang lebih modern pada eranya.
"Saat itu dagelan Mataram masih dipakai, ada tambahan seperti Jhony Gudel dan Badempo. Saat itu, musiknya mulai memainkan music jazz, pop, meski mayoritasnya tetap keroncong. Sajian musik masih utama, dagelan musiknya masih selingan," kata Harry.
Namun badai menghampiri Gema Malam Srimulat. Pada tahun 1968, Sri meninggal dunia. Tidak adanya sosok Sri di panggung, membuat Teguh memaksimalkan pementasan komedi pada penampilan Srimulat.
"Dagelan Mataram diramu dagelan non-Mataram, sehingga masuk Paimo dan kawan-kawan. Pada tahun 1969, Teguh mulai menyeriuskan Srimulat dalam bentuk lawak, tapi itu masih uji coba, kadang nggak lucu, belum bagus, musik masih terus jalan. Seiring berjalannya waktu, Teguh mulai mendapatkan bentuk pementasan lawakan. Keunikan dari Srimulat mulai ketemu, lalu jadilah Aneka Ria Srimulat," pungkasnya.