Ada tujuh kecamatan di Kabupaten Brebes yang menggunakan bahasa Sunda, salah satunya Kecamatan Ketanggungan. Di kecamatan itu juga terdapat kampung budaya Sunda yang masih menjaga tradisi leluhurnya. Kampung Budaya Jalawastu itu berada di Desa Ciseureuh.
Memasuki kampung ini, nuansa pedesaan khas Sunda begitu kental. Budaya dan adat Sunda masih terjaga di kampung ini. Salah satunya budaya ritual Ngasa, sebuah upacara yang melambangkan rasa syukur atas karunia Tuhan.
Pemangku Adat Kampung Budaya Jalawastu, Kaliwon Suryaatmaja, menceritakan adat dan budaya Sunda sudah ada sejak lama di sebagian wilayah Brebes, Jawa Tengah. Menurutnya, beberapa cerita lisan menceritakan pengaruh Sunda di Brebes terjadi sejak masa kerajaan Majapahit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masuknya Sunda di Jalawastu yang ada di Kecamatan Ketanggungan sudah ada dari dahulu. Sejak leluhur kami terdahulu sudah Sunda, cuma belum terdeteksi karena dulu masih zaman babatara, yaitu Batara Sakti Windu Buana. Orang Sunda terdeteksi itu dari cerita Perang Bubat," kata Kaliwon saat ditemui, Selasa (31/1/2023).
"Ketika itu prajurit Galuh lari terbirit-birit akhirnya berpencar dan mengisi beberapa kecamatan, perkampungan, dan khususnya di lingkungan Gunung Sagara atau Gunung Kumbang yang sekarang sering diadakan ritual Ngasa," imbuh Kaliwon.
Kaliwon mengatakan orang Sunda yang ada di Brebes bisa disebut Sunda yang tertunda dari Kerajaan Galuh, penganut Sunda Wiwitan dari Jawa Barat. Pengaruh Sunda Wiwitan itu dibawa oleh prajurit Galuh yang menempati wilayah Brebes setelah Perang Bubat.
"Prajurit itu berhenti, pasrah mau mati atau tidak karena kelelahan berjalan. Akhirnya mengisi titik-titik di sekitar Gunung Sagara, di situ menyebarkan ajaran Sunda Wiwitan dan seperti ajaran-ajaran Sunda yang diterapkan di Jalawastu dan sekitarnya," jelas Kaliwon.
Kaliwon berujar, adat budaya Sunda di Jalawstu Brebes memiliki keterkaitan dengan adat Sunda Badui. Dari cerita yang berkembang, Kaliwon mengisahkan, dahulu ada leluhur Jalawastu bernama Ki Gandawangi yang pergi ke Badui bersama anak istrinya. Dalam cerita itu disebut bahwa di Badui baru ada sepasang kakek dan nenek yang mendiami wilayah itu.
Nenek itu tengah menunggui Arca Domas yang sekarang dikeramatkan masyarakat Badui. Sejak itu Ki Gandawangi mendiami perkampungan itu, bergabung dengan kakek nenek tersebut.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Cerita yang berkembang, dulu di situ ada leluhur Jalawastu Ki Gandawangi bersama istri dan anak pergi ke Badui. Di situ baru ada kakek nenek yang sedang menunggu Arca Domas, sekarang ditutupi kain putih karena sangat dihormati warga Badui sekarang. Akhirnya Ki Gandawangi bersama anak istri sampai ke Badui bergabung dengan nenek kakek itu," Kaliwon berkisah.
Mengenai keyakinan agama warga Jalawastu, Kaliwon menjelaskan, menurut sejarahnya dulu menganut Sunda Wiwitan. Ajaran islam baru masuk dibawa oleh Ki Walang Sungsang atau Ki Cakrabuana. Orang yang dikenal dengan sebutan Kuwu Sangkanurip ini disebut berpengaruh di kalangan masyarakat saat itu.
"Sebelum masuknya agama Islam yang dibawa oleh Ki Walang Sungsang atau Ki Cakrabuana atau yang juga dusebut Kuwu Sangkanurip, orang-orang Jalawastu menganut ajaran Sunda Wiwitan," lanjutnya.
Meski demikian, sejumlah adat peninggalan leluhur di Jalawastu masih terjaga. Upacara adat warisan leluhur tetap dilaksanakan sampai sekarang.