Sejarah Kelenteng Tien Kok Sie Solo, Arungi Pergolakan Zaman Sejak 1745

Sejarah Kelenteng Tien Kok Sie Solo, Arungi Pergolakan Zaman Sejak 1745

Agil Trisetiawan Putra - detikJateng
Sabtu, 14 Jan 2023 22:13 WIB
Kelenteng Tien Kok Sie di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo, Jumat (13/1/2023).
Kelenteng Tien Kok Sie di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo, Sabtu (14/1/2023). Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng
Solo -

Kelenteng Tien Kok Sie merupakan tempat ibadah umat Tri Darma (Konghucu, Buddha, dan Taoisme) tertua di Kota Solo. Menurut Ketua Yayasan Kelenteng Tien Kok Sie Solo, Sumantri Dana Waluya, kelenteng ini sudah berdiri sejak 1745.

Sumantri mengatakan Kelenteng Tien Kok Sie dibangun para pengusaha yang singgah di Solo. Kelenteng ini dahulu juga sebagai tempat bersosialisasi.

Kelenteng ini berada di selatan Pasar Gede, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres. Bangunannya dikeliling kompleks pertokoan dan pasar. Tanah kelenteng tersebut pemberian dari Keraton Kasunanan Surakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selain untuk ibadah, di sini juga merupakan tempat bersosialisasi untuk membahas berbagai hal," kata Sumantri saat ditemui wartawan, Sabtu (14/1/2023).

Dia menuturkan, Kelenteng Tien Kok Sie sudah melewati berbagai zaman. Meski demikian, kelenteng tersebut tidak pernah terimbas gejolak zaman, baik sejak masa kolonialisme Belanda hingga era perang kemerdekaan.

ADVERTISEMENT
Kelenteng Tien Kok Sie di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo, Jumat (13/1/2023).Kelenteng Tien Kok Sie di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo, Sabtu (14/1/2023). Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng

"Pada 15 Maret 1966 ada banjir besar, sini tenggelam. Kimsin (patung suci) nggak ada yang hanyut atau hilang, tapi surat-surat hilang," terang Sumantri.

Di sisi lain, kelenteng ini juga menjadi saksi bisu pada masa kelam era Orde Baru tahun 1970-an. Sumantri menuturkan saat itu umat Konghucu tidak berani beribadah di kelenteng. Mereka memilih beribadah di rumah.

"Dulu tempat ini diminta untuk ditutup. Aksa (tulisan) minta diturunkan. Saat itu segala kesenian dan kebudayaan (Tionghoa) dibatasi," ujar Sumantri.

Untuk menghindari konflik pada masa Orde Baru, banyak kelenteng yang namanya diubah menjadi vihara. Maka itu Kelenteng Tien Kok Sie ini juga dikenal dengan nama Vihara Avalokitesvara.

"Efeknya sekarang banyak orang salah kaprah. Kalau Vihara kan tempat ibadah agama Buddha, kalau kelenteng kan tempat ibadah tiga agama yakni Konghucu, Buddha, dan Taoisme," ucapnya.

Pada masa Reformasi 1998, Sumantri mengatakan, kelentengnya hampir menjadi sasaran massa. Berkat hubungan baik antara umat Konghucu dengan masyarakat sekitar, kelenteng itu pun dapat diselamatkan.

"Kita sering berinteraksi dengan buruh gendong, tukang becak di sini. Pas kerusuhan itu becak-becak diparkir di depan (kelenteng), jadi mereka (massa) mau masuk jadi terhalau," Sumantri mengenangkan.

Pada era Presiden BJ Habibie, kata Sumantri, pemerintah mulai mengembalikan hak-hak masyarakat sipil. Sedangkan pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, kebebasan beragama dan berbudaya mulai dilonggarkan. "Saat Presiden SBY mulai diperbolehkan semuanya," kata Sumantri.

Mengalami berbagai zaman, Kelenteng Tien Kok Sie masih berdiri tegak hingga kini. "Kerusuhan beberapa kali, kami bersyukur tidak pernah ada kerusakan," pungkas Sumantri.




(dil/dil)


Hide Ads