Pementasan wayang kulit dengan dalang kondang Ki Warseno Slenk yang digelar Selasa (2/8/2022) malam cukup unik. Pementasan yang digelar di bekas kompleks Kepatihan Pura Mangkunegaran itu menghadirkan suasana pentas wayang kulit di masa lalu.
Tidak ada lampu panggung yang gemerlap seperti layaknya pementasan wayang kulit di era modern. Suasana panggung dalam pementasan itu terlihat temaram.
Bahkan, blencong yang digunakan untuk menerangi pakeliran juga hanya menggunakan lampu minyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, untuk urusan tata suara, pementasan itu masih menggunakan alat pelantang suara meski ala kadarnya. Alat itu digunakan agar suara dalang bisa didengar jelas oleh para penonton.
Pentas ini dilakukan di bekas Kepatihan Mangkunegaran atau bekas TK Taman Putera pada Selasa (2/8/2022) malam. Wayangan ini digelar sebelum bangunan bersejarah itu direnovasi.
Lakon yang disuguhkan ialah 'Wahyu Makutharama'. Lakon ini menceritakan ajaran hastabrata atau delapan unsur alam yang harus dipahami untuk menghayati konsep kepemimpinan.
Usai pentas, Ki Warseno Slenk mengatakan konsep minim pencahayaan dilakukan untuk memberi suasana seperti zaman dahulu. Selain itu, penerangan yang minim juga membuat suasana lebih khidmat.
"Ini agar bagaimana melihat wayang seperti dulunya, basic-nya wayang seperti itu, tanpa lampu. Dan ternyata lebih asyik, lebih fokus wayang, bayang-bayang," kata Warseno kepada detikJateng, Selasa (2/8/2022).
Pemilihan lakon Makutharama dinilai sesuai dengan rencana renovasi kompleks Kepatihan itu. Tempat tersebut diharapkan bisa melengkapi dan mempersatukan segala unsur layaknya konsep hastabrata.
"Konsep hastabrata itu delapan unsur alam, saling melengkapi. Kita harus menyatu. Seperti tempat ini dikembalikan fungsinya, sebagai alam budaya, alam pemersatu," ujar dia.
Selanjutnya, Warseno Slenk juga berharap agar renovasi tempat tersebut bisa mengembalikan marwahnya.
"Dulu ini Kepatihan, warangkane senapati, patih, sumber budaya, sumber berita. Mudah-mudahan dibangunnya Taman Putera ini mengembalikan marwahnya, menyedot energi budaya yang bisa menyatukan bangsa," pungkasnya.
(ahr/mbr)