Aditya Novali akan merotasi salah satu instalasi dalam pameran tunggalnya yang bertajuk "WHY" di Tumurun Private Museum di Solo pada Sabtu (23/7/2022). Instalasi tersebut akan diganti dengan karya instalasinya yang lain yang belum pernah dipamerkan di Indonesia. Instalasi baru itu berjudul "Tea: One Ceremony".
"Karya ini baru dipamerkan di Jepang, tapi belum pernah sempat dibawa ke Indonesia. Dalam kesempatan ini, saya sengaja menghadirkan instalasi ini agar pencinta seni di sini juga dapat menikmati dan ikut mengalami apa yang ingin saya kisahkan melalui karya ini," kata Aditya dalam keterangan tertulis Tumurun Private Museum kepada detikJateng, hari ini.
Karya instalasi "Tea: One Ceremony" itu disebut sebagai simbol dari pertanyaan yang kerap muncul dalam benak Aditya Novali tentang identitas diri. Lahir dan tumbuh besar di Solo, dengan lapis-lapis budaya yang melingkupinya, Aditya cukup akrab dengan kebiasaan minum teh masyarakat Solo yang unik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat di Solo biasa mencampur beberapa merek teh lokal untuk mendapatkan aroma dan kekentalan teh yang khas. Campuran teh itu dikenal dengan istilah teh oplosan atau teh pokil.
Instalasi performatif "Tea: One Ceremony" merupakan karya Aditya ketika ia menjalani residensi di Jepang yang kebetulan memiliki tradisi minum teh yang tinggi. Namun, alih-alih menghadirkan cara minum teh Jepang yang inggil, ia justru menyuguhkan cara minum teh asli Solo yang cenderung lebih kasual.
Ia menghadirkan sebuah meja melingkar yang menyajikan aneka ragam teh Indonesia, Solo khususnya, dan mengajak pengunjung pamerannya berpartisipasi dalam upacara minum teh yang ia hadirkan. Di Solo, ia menghadirkan karya tersebut untuk mengajak para pengunjung bernostalgia dan mengenang kisah personal penuh kesan dari tradisi minum teh yang pernah mereka alami.
Para penonton akan diundang untuk menikmati teh dengan mencampur sendiri teh mereka. Aditya juga akan mendorong penonton untuk melihat budaya perjamuan ini dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang berbeda-beda di setiap negara.
Alia Swastika yang menjadi salah satu penulis untuk pameran ini menyebutkan, sebagai salah satu hasil utama pertanian di Indonesia dan negara-negara Asia, teh amat lekat dengan sejarah kolonialisme, di mana sebagian besar dari tanaman ini ditanam di perkebunan-perkebunan tanah jajahan, dan menghasilkan keuntungan besar untuk perusahaan-perusahaan kolonial.
"Budaya minum teh menjadi titik pertemuan antara tiga konteks yang diangkat sebagai wacana oleh Aditya: identitasnya sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa, warga yang tinggal dalam pengaruh budaya Jawa yang kuat, serta amatannya terhadap kultur minum teh di Jepang sebagai bagian dari tradisi," kata Alia.
Instalasi "Tea: One Ceremony" ini akan diluncurkan bersamaan dengan program "Malam Minggu di Museum" yang akan kembali digelar pada hari ini. Program pertamanya, telah digelar sebagai rangkaian dari pameran "WHY" yang dibuka pada 26 Maret lalu dan akan berlangsung hingga 26 September 2022.
(dil/rih)