Setelah mengulas masa kecil Srimulat di Dalem Kawedanan Bekonang hingga memutuskan kabur dari rumah dan nyantrik sebagai sinden wayang kulit pimpinan Ki Dalang Tjermosugondo di Jogja dalam artikel sebelumnya, kali ini detikJateng akan menyuguhkan serangkaian kisah cinta Srimulat yang tak lepas dari perjalanannya mengarungi dunia seni pertunjukan.
*
Setelah setahun menimba ilmu pada Ki Dalang Tjermosugondo di Jogja, Srimulat bergabung dengan Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Reksotruno. Di ketoprak inilah Srimulat mulai berkeliling Jawa Tengah hingga bertemu dengan Nyi Murtiasih, seorang ningrat dari Jawa Timur, pemimpin Paguyuban Wayang Orang Ngesthi Rahayu. Suaminya, Wiwoho, adalah pimpinan grup musik yang kerap mengiringi pesta pernikahan.
Setelah bergabung dengan grup Wiwoho, Srimulat lebih intens mengasah bakat tarik suaranya, khususnya dalam tembang-tembang keroncong. Dari grup tersebut, Srimulat berkenalan dengan Tuan Mannoek, pengusaha pasar malam yang menggandengnya sebagai pengisi panggung musik. Sejak itu, Srimulat semakin melebarkan sayapnya di Jawa Tengah dan Timur.
Pada usia 29 tahun, Srimulat mengukuhkan namanya sebagai biduan setelah suara emasnya diabadikan dalam piringan hitam yang diproduksi Perusahaan Rekaman Burung Kenari, Columbia, dan His Master's Voice, dikutip dari buku Srimulatism karya Thrio Haryanto (Penerbit Noura, 2018: 9).
Di tengah kesibukannya sebagai penyanyi, Srimulat juga pernah mendirikan kelompok kesenian rakyat, mulai dari Wayang Orang Sri Darmo Wandowo, Ketoprak Wara Mulat Budoyo, hingga Sandiwara Jawa Sri Mulat. Pada masa pendudukan Jepang yang mengakhiri era kolonial Belanda, Srimulat mulai bergabung dengan Ketoprak Krido Carito milik Nyonya Tan Ing Nio.
Semasa bergabung dengan grup ketoprak tersebut, di Malang pada 1943, Srimulat bertemu Fred Young. Pengusaha Tionghoa ini mengajak Srimulat ikut dalam Sandiwara Bintang Surabaya yang dia pimpin. Selain memimpin kelompok sandiwara, Fred Young juga bergerak di bidang industri film yang kelak juga mengorbitkan Srimulat di panggung layar lebar pada 1949-1957.
Bersama Sandiwara Bintang Surabaya nama Srimulat kian moncer. Penggemarnya semakin banyak di antero Jawa Timur. Salah satunya adalah Raden Mas Suwandi asal Surabaya, yang menikahi Srimulat pada 1936. Namun, pernikahan itu tak bertahan lama setelah Srimulat tahu dirinya dijadikan sebagai istri kedua.
Sekitar tiga tahun setelah berpisah dengan RM Suwandi, pada 1941, Srimulat menikah lagi dengan seorang pegawai administrasi di Besuki, Jawa Timur. Raden Purwohadibroto namanya.
Namun, pernikahan Srimulat yang ketiga ini juga tak bertahan lama. Sebab, sang suami melarangnya berkecimpung di dunia seni. Ihwal pernikahan Srimulat yang pertama sila baca di artikel sebelumnya. Srimulat pun kembali melanjutkan kerja seninya di bidang tarik suara.
Singkat cerita, pada 1947, Srimulat didapuk sebagai penyanyi dalam acara Hari Kelahiran TNI AL di Purwodadi. Adapun pengiringnya adalah orkes keroncong Bunga Mawar, grup musik papan atas dari Solo. Gesang, sang pencipta lagu Bengawan Solo, termasuk salah satu personelnya.
Selain Gesang, ada pula Kho Tjien Tiong alias Teguh Slamet Rahardjo di orkes tersebut. Teguh saat itu menjadi pemain gitar melodi. Di acara Hari Kelahiran TNI AL itulah Srimulat berkenalan dengan Teguh yang saat itu baru berumur 21 tahun. Dalam buku Srimulatism, Teguh digambarkan oleh Thrio Haryanto sebagai pemuda berbadan tegap dan berkulit kuning langsat.
Berawal dari perkenalan di Purwodadi itu, Teguh kemudian mempersunting Srimulat. Kelak, dari pasangan suami istri seniman itu lahirlah grup lawak Aneka Ria Srimulat pada 1950 di Kota Solo yang melegenda sampai sekarang.
(dil/dil)