Nama Srimulat tetap lestari hingga kini. Bahkan, belakangan ini namanya melejit lagi setelah film Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama yang disutradarai Fajar Nugros dirilis di bioskop pada Kamis (19/5/2022) pekan lalu.
Tiap mendengar nama Srimulat, yang pertama muncul di benak sebagian orang tentu adalah grup lawak legendaris yang sudah lebih dari separuh abad merajai panggung seni pertunjukan Indonesia. Meski sebagian besar anggotanya sudah berpulang, wajah dan aksi kocak serta ceplas-ceplos spontan mereka masih terkenang.
Dalam edisi akhir pekan kali ini detikJateng akan mengajak pembaca mengenal lebih jauh tentang Srimulat, pendiri grup Aneka Ria Srimulat, sebagai sosok pribadi, pejuang tangguh yang berani mewujudkan mimpinya pada masa-masa sulit bagi perempuan sebayanya untuk unjuk gigi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
*
Srimulat lahir di Botokan, Klaten, pada 7 Mei 1908. Dia putri kandung dari pasangan Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden Ayu Sedah. Ayahnya dikenal sebagai Wedana Bekonang, pejabat di bawah bupati pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Sebelum Indonesia merdeka, Kawedanan Bekonang meliputi sejumlah daerah yang kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sukoharjo, seperti Mojolaban, Polokarto, dan sekitarnya.
RM Aryo baru menjabat wedana saat Srimulat masih kelas 5 di Hollandsch Inslandsche School (HIS), sekolah dasar Belanda untuk anak pribumi dari kelas bangsawan. Sebelumnya, Srimulat sempat diasuh kakak ayahnya, yaitu pakde RM Soenarjo yang juga pejabat Kommis Asisten-Residen di Klaten.
Meski 'berdarah biru' dan dibesarkan di rumah dinas Dalem Kawedanan, sejak kecil Srimulat sudah berhasrat ingin menjadi pesinden dan penari, sebagaimana dikisahkan Thrio Haryanto dalam bukunya Srimulatism (Penerbit Noura, 2018). Darah seni yang mengalir di tubuh Srimulat itu menurun dari sang ayah.
"Padahal saya tahu, Romo adalah seorang penari dan penembang yang baik," kata Sri Mulat dalam buku Srimulatism karya Thrio Haryanto (2018:5).
Namun demikian, keinginan Srimulat untuk mewujudkan mimpinya ditentang oleh RA Sarenti. Sarenti adalah istri kedua ayah Srimulat setelah ibu kandungnya, RA Sedah, meninggal. Sarenti juga melarang Srimulat melanjutkan pendidikan setelah empat bulan sempat duduk di bangku KES (Koningin Emma School atau Sekolah Ratu Emma) sekolah tingkat dasar di Hindia Belanda.
Pada usia 15 tahun, Srimulat dinikahkan oleh ayahnya dengan Raden Mas Hardjowinoto. Namun, suami pertama Srimulat itu meninggal di usia muda. Meninggalnya sang suami menjadi duka kedua dalam pernikahan dini Srimulat. Sebelumnya, anak mereka yang baru 2,5 tahun meninggal lebih dulu.
Setelah bertahun-tahun merana di balik benteng adat yang mengungkung kaum perempuan masa itu, pada suatu malam, Srimulat memutuskan kabur dari Dalem Kawedanan Bekonang. "Aku memberanikan diri untuk melakukan sikap menentang arus dengan mengikuti imajinasiku, langkah hati, mengembara dalam mega kehidupan," dikutip dari srimulatpunyacerita.wixsite.com.
Sempat singgah beberapa hari di rumah Mas Ngabehi Sokasanta, Srimulat memulai petualangannya, nyantrik alias menimba ilmu sebagai sinden di wayang kulit pimpinan Ki Dalang Tjermosugondo di Jogja. Saat itu Srimulat baru berumur sekitar 19 tahun.
Dalam Srimulatism dijelaskan, karier awal Srimulat di dunia seni tak lepas dari peran besar Mas Ngabehi Sokasanta. Sokasanta adalah seorang opas atau pengantar surat yang sudah sangat dekat dengan keluarga Srimulat. Bahkan dia sudah dianggap ayah sendiri oleh Srimulat.
Dari Opas Sokasanta-lah Srimulat belajar menulis dan membaca huruf Jawa serta bahasa Melayu. Sokasanta pula yang meneguhkan Srimulat akan besarnya bakat seni dalam dirinya. "Pak Soka, bahkan berkali-kali-secara terus terang memuji kemerduan suara Sri, setiap kali Sri melantunkan langgam-langgam Jawa (Haryanto, 2018: 12)."
(dil/dil)