Tetap Produksi, Perajin Tempe Pekalongan: Jika Mogok Bingung Makan Apa

Tetap Produksi, Perajin Tempe Pekalongan: Jika Mogok Bingung Makan Apa

Robby Bernardi - detikJateng
Senin, 21 Feb 2022 15:45 WIB
Di tengah seruan aksi mogok, perajin tempe di Kota Pekalongan lebih memilih tetap produksi, Senin (21/2/2022).
Di tengah seruan aksi mogok, perajin tempe di Kota Pekalongan lebih memilih tetap produksi, Senin (21/2/2022). Foto: Robby Bernardi/detikJateng
Kota Pekalongan -

Di tengah seruan aksi mogok produksi perajin tempe dan tahu, perajin tempe di Kota Pekalongan lebih memilih tetap produksi. Tapi perajin mengecilkan ukuran tempe dan tahu.

Dzikri (65), perajin tempe warga Kelurahan Kuripan Kertoharjo, Kecamatan Pekalongan Selatan, mengakui ada seruan untuk mogok memproduksi tempe atau tahu. Namun, dirinya tetap produksi yang menjadi mata pencaharian utamanya.

"Ya, betul ada seruan seperti itu, tapi kalau mogok produksi bingung mau makan apa. Sehingga, disiasati dengan mengecilkan ukuran tempe," kata Dzikri kepada detikJateng, Senin (21/2/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak yang masih produksi juga kok, nggak tahu siapa yang tidak produksi (tempe)," imbuhnya.

Diceritakan Dzikri, memang dalam satu bulan ini, harga kedelai mengalami kenaikan dari yang semula Rp 9.500 saat ini Rp 11.200 per kilogram.

ADVERTISEMENT

"Harganya naik terus dalam sebulan ini, mulai dari Rp 9.500 per kilogram, menjadi Rp 9.800. Terus naik lagi, sekarang sudah Rp 11.200," kata Dzikri.

Padahal, menurutnya, ia membutuhkan sekitar 7 kuintal kedelai untuk produksi selama 10 hari.

"Tiga hari saya bisa menghabiskan 2 kuintal kedelai dari Amerika. Kedelai 7 kuintal habis untuk 10 hari. Walaupun mahal, kedelai masih ada, tidak mengalami kelangkaan," jelasnya.

Untuk menyiasati kenaikan harga kedelai, ia lebih memilih memperkecil ukuran tempe yang dibuatnya ketimbang menaikkan harga.

"Kita ubah ukurannya menjadi sekitar 18 cm sebelumnya 20 cm. Kalau harga dinaikkan, banyak yang protes, makanya kita kecilkan ukurannya beberapa senti, untuk menutup biaya produksi. Harga masih sama yakni Rp 5 ribu per potong" katanya.

Satu lonjor tempe yang panjangnya 150 cm, biasanya dipotong per 20 cm, kini dipotong berukuran 18 cm. Biasanya, satu lonjor bisa ada tujuh setengah potong untuk ukuran tempe 20 cm, kini satu lonjor, karena ukuran dikecilkan menjadi 18 cm, bisa mencapai delapan potong.

Namun, berbeda dengan pembeli yang membeli dengan ukuran lonjoran sepanjang 1,5 meter. Biasanya dijual Rp 35 ribu, kini dijual Rp 40 ribu.

"Kalau membeli lonjoran, ya naik harganya, naik Rp 5 ribu dari harga awalnya Rp 35 ribu satu lonjor (ukuran 1,5 meter). Biasanya yang membeli lonjoran para pedagang pasar yang dipotong-potong sendiri," jelasnya.

Ia mengakui dengan modal lebih dari Rp 6,4 juta dalam sepuluh hari, keuntungan yang diperoleh sangat kecil.

"Ya pas saja untuk menumpang makan kita. Tipis banget," ucapnya.

Ia berharap agar pihak pemerintah bisa mengendalikan harga kedelai, agar normal kembali Rp 9.000 per kilogram.

Sementara itu, Amin (44), perajin tempe warga Kuripan, membenarkan bahwa perajin tempe maupun tahu di Pekalongan tetap berproduksi ketimbang ikut ajakan mogok.

"Kita sudah memasak kedelai, masa iya kita harus ikut mogok. Yang kita bisa cuman seperti ini, tidak ada kerjaan lain. Kalau mogok, nanti kita mau makan apa, kalau tempe-tempe kita nggak dijual?" ungkapnya.

Hampir rata-rata para perajin memilih untuk tetap berproduksi dan menjual tempe di pasaran, ketimbang mengikuti aksi mogok.

Tampak di sejumlah pasar tradisional, masih ada stok tempe dan tidak terjadi kelangkaan. Hanya saja, memang ukuran tempe sedikit lebih pendek ketimbang sebelumnya.

Pembeli tempe, Tri Handayani (38), warga Kradenan, Kecamatan Pekalongan Selatan, mengaku ukuran tempe dikecilkan sudah satu bulan ini.

"Di pasar-pasar masih banyak yang jualan tempe. Tapi ukuran tempe agak sedikit lebih pendek. Hampir satu bulan, ketika saya beli tempe di pasar ukuran tempenya semakin kecil. Tapi untuk harga masih sama Rp 5 ribu," katanya.




(rih/ahr)


Hide Ads