Kebanyakan pemudik pada masa sekarang bisa menikmati perjalanannya dengan nyaman menggunakan mobil pribadi yang melaju di jalan tol. Satu-satunya tantangan adalah kemacetan lalu lintas.
Kondisi ini jauh berbeda dengan era 1990-an. Kala itu belum banyak perantau yang memiliki kendaraan pribadi. Akibatnya, sarana transportasi umum menjadi primadona untuk mudik.
Salah satu yang menjadi incaran adalah kereta api. Moda transportasi ini menjadi tumpuan para perantau demi bisa pulang ke kampung halaman untuk berlebaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikJateng melakukan penelusuran mengenai penampakan perjuangan mudik era 1990-an melalui arsip media massa yang tersimpan di Monumen Pers Solo. Terdapat beberapa hasil liputan media mengenai perjuangan pemudik masa masa lalu yang sudah tidak bisa dijumpai di masa kini.
![]() |
Tentu saja, untuk mendapatkan tiket kereta api tidak semudah sekarang yang bisa diakses melalui aplikasi di ponsel. Pada era 1990-an, pemudik harus antre di loket stasiun sejak tengah malam menunggu loket buka pada pagi harinya.
![]() |
Perjuangan memperoleh tiket itu belum selesai. Saat jadwal keberangkatan, mereka harus berjuang demi mendapatkan tempat duduk. Alhasil, suasana kacau balau terjadi saat kereta api telah tiba. Mereka berebut masuk ke dalam kereta api, bahkan banyak yang masuk melalui jendela.
Bagi yang tidak kebagian tempat duduk, mereka harus rela berdiri berdesak-desakan di dalam gerbong dan berbagi tempat dengan barang-barang bawaan para pemudik yang membuat suasana menjadi semakin berjubel.
![]() |
Dari foto-foto yang diperoleh, para penumpang tak hanya berjubel di dalam gerbong kereta api. Namun mereka juga bertaruh nyawa dengan tidur di atas gerbong.
Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya mencari 'tempat nyaman' dengan berdiri di sekeliling lokomotif.
![]() |
Tentu saja, perjuangan berat dan bertaruh nyawa untuk mudik itu akan terbayar lunas saat mereka bisa berlebaran bersama keluarga di kampung halaman. Seolah mereka tidak membayangkan bahwa perjuangan untuk kembali ke perantauan harus dilalui dengan cara yang sama.
Artikel ini ditulis oleh Nindasari dan Rayza Teguh Prastiyo, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ahr/ahr)