Potret Mudik Zaman Old: Penumpang Berdesakan di Atap Gerbong-Lokomotif

Potret Mudik Zaman Old: Penumpang Berdesakan di Atap Gerbong-Lokomotif

Rayza Teguh Prastiyo, Nindasari - detikJateng
Senin, 08 Apr 2024 09:16 WIB
Foto pemudik di Stasiun KA Cepu (Bernas/hoe). Koran BERNAS edisi Senin Wage, 21 Maret 1994. Diakses dari Monumen Pers Solo pada Kamis (4/4/2024).
Foto pemudik di Stasiun KA Cepu (Bernas/hoe). Koran BERNAS edisi Senin Wage, 21 Maret 1994. Diakses dari Monumen Pers Solo pada Kamis (4/4/2024). Foto: dok. Monumen Pers Solo
Solo -

Kebanyakan pemudik pada masa sekarang bisa menikmati perjalanannya dengan nyaman menggunakan mobil pribadi yang melaju di jalan tol. Satu-satunya tantangan adalah kemacetan lalu lintas.

Kondisi ini jauh berbeda dengan era 1990-an. Kala itu belum banyak perantau yang memiliki kendaraan pribadi. Akibatnya, sarana transportasi umum menjadi primadona untuk mudik.

Salah satu yang menjadi incaran adalah kereta api. Moda transportasi ini menjadi tumpuan para perantau demi bisa pulang ke kampung halaman untuk berlebaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikJateng melakukan penelusuran mengenai penampakan perjuangan mudik era 1990-an melalui arsip media massa yang tersimpan di Monumen Pers Solo. Terdapat beberapa hasil liputan media mengenai perjuangan pemudik masa masa lalu yang sudah tidak bisa dijumpai di masa kini.

ANTRI ARUS BALIK. Sejak Sabtu lalu arus balik mulai terasa. Untuk mendapatkan tiket kereta api ke Jakarta dan Surabaya, para calon penumpang harus antri selama berjam-jam di stasiun Tawang-Semarang. Foto: (KR-Isdiyanto)-a (Kedaulatan Rakyat, Senin, 30 April 1990).ANTRI ARUS BALIK. Sejak Sabtu lalu arus balik mulai terasa. Untuk mendapatkan tiket kereta api ke Jakarta dan Surabaya, para calon penumpang harus antri selama berjam-jam di stasiun Tawang-Semarang. Foto: (KR-Isdiyanto)-a (Kedaulatan Rakyat, Senin, 30 April 1990). Foto: dok. Monumen Pers Solo

Tentu saja, untuk mendapatkan tiket kereta api tidak semudah sekarang yang bisa diakses melalui aplikasi di ponsel. Pada era 1990-an, pemudik harus antre di loket stasiun sejak tengah malam menunggu loket buka pada pagi harinya.

ADVERTISEMENT
Foto pemudik di Stasiun KA Cepu (Bernas/hoe). Koran BERNAS edisi Senin Wage, 21 Maret 1994. Diakses dari Monumen Pers Solo pada Kamis (4/4/2024).Foto pemudik di Stasiun KA Cepu (Bernas/hoe). Koran BERNAS edisi Senin Wage, 21 Maret 1994. Diakses dari Monumen Pers Solo pada Kamis (4/4/2024). Foto: dok. Monumen Pers Solo

Perjuangan memperoleh tiket itu belum selesai. Saat jadwal keberangkatan, mereka harus berjuang demi mendapatkan tempat duduk. Alhasil, suasana kacau balau terjadi saat kereta api telah tiba. Mereka berebut masuk ke dalam kereta api, bahkan banyak yang masuk melalui jendela.

Bagi yang tidak kebagian tempat duduk, mereka harus rela berdiri berdesak-desakan di dalam gerbong dan berbagi tempat dengan barang-barang bawaan para pemudik yang membuat suasana menjadi semakin berjubel.

Jakarta, Kami Kembali! Foto: Amri Zainun/Jawa Pos. Walaupun tidak tampak ada ledakan arus balik, tetapi ekreta api jurusan Sidareja-Jakarta yang lewat Bandung hari Rabu masih dijejali penumpang. Yang tidak kebagian tempat harus nekad naik ke atap menantang peringatan Polsus KA dan intaian maut di perjalanan. Mengerikan buat yang tidak biasa tetapi sudah jadi makanan sehari-hari mereka yang selalu hidup Jakarta, Kami Kembali! Foto: Amri Zainun/Jawa Pos. Walaupun tidak tampak ada ledakan arus balik, tetapi ekreta api jurusan Sidareja-Jakarta yang lewat Bandung hari Rabu masih dijejali penumpang. Yang tidak kebagian tempat harus nekad naik ke atap menantang peringatan Polsus KA dan intaian maut di perjalanan. Mengerikan buat yang tidak biasa tetapi sudah jadi makanan sehari-hari mereka yang selalu hidup "di tepian".(Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Kamis 3 Mei 1990) Foto: dok. Monumen Pers Solo

Dari foto-foto yang diperoleh, para penumpang tak hanya berjubel di dalam gerbong kereta api. Namun mereka juga bertaruh nyawa dengan tidur di atas gerbong.

Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya mencari 'tempat nyaman' dengan berdiri di sekeliling lokomotif.

Foto: Amri Zainun/Jawa Pos. Setelah 12 jam berhimpit-himpitan di gerbong, bergelantungan di badan lok kereta api, atau duduk tanpa berpegangan sama sekali di atapnya, penumpang KA jurusan Purwokerto-Jakarta yang berangkat pukul 06.00 pagi baru mendcapai Jembatan Gedebage, Bandung, Senin sore kemarin. Masih sekitar lima jam lagi sebelum mereka sampai ke tujuan. (Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Selasa 30 Maret1993)Foto: Amri Zainun/Jawa Pos. Setelah 12 jam berhimpit-himpitan di gerbong, bergelantungan di badan lok kereta api, atau duduk tanpa berpegangan sama sekali di atapnya, penumpang KA jurusan Purwokerto-Jakarta yang berangkat pukul 06.00 pagi baru mendcapai Jembatan Gedebage, Bandung, Senin sore kemarin. Masih sekitar lima jam lagi sebelum mereka sampai ke tujuan. (Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Selasa 30 Maret1993) Foto: dok. Monumen Pers Solo

Tentu saja, perjuangan berat dan bertaruh nyawa untuk mudik itu akan terbayar lunas saat mereka bisa berlebaran bersama keluarga di kampung halaman. Seolah mereka tidak membayangkan bahwa perjuangan untuk kembali ke perantauan harus dilalui dengan cara yang sama.

Artikel ini ditulis oleh Nindasari dan Rayza Teguh Prastiyo, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ahr/ahr)


Hide Ads