Bukber detikJateng

Hati-hati! Begini Hukumnya Berhubungan Badan Saat Berpuasa

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Selasa, 26 Mar 2024 16:00 WIB
Ilustrasi hubungan seks. Foto: Getty Images/iStockphoto/Larisa Rudenko
Solo -

Umat Islam tak hanya diwajibkan menahan lapar dan dahaga saat berpuasa, mereka juga harus menahan hawa nafsunya. Salah satu yang wajib dihindari suami istri saat berpuasa yaitu nafsu untuk berhubungan badan saat puasa.

Berhubungan badan ini sangat dilarang dilakukan oleh seseorang yang tengah menjalankan ibadah puasa. Akan tetapi, masih ada pasangan suami istri (pasutri) yang berhubungan badan di siang hari saat berpuasa.

Ternyata, selain dapat membatalkan puasa, hukumnya pasutri berhubungan badan di siang hari saat berpuasa adalah haram. Begini penjelasannya.

Salah satu dosen Universitas Islam Negeri Surakarta, Dr. Aly Mashar, S.Pd.I., M.Hum menjelaskan, hukumnya pasutri berhubungan badan saat berpuasa adalah haram. Tak hanya itu, seseorang yang melakukannya juga dikenai kafarat 'udhma, atau kafarat besar yang tekanannya dalam agama juga sangat besar.

"Ini hukumnya haram dan membatalkan puasa. Dan ini yang aktif melakukan jimak, seumpama yang aktif suami maka yang kena kafarat adalah suaminya. Aktif ini subjek, bukan objek. Jika yang aktif istri maka yang kena kafarat adalah istrinya. Ini kena kafarat 'udhma, kafarat yang besar," terang Aly saat dihubungi detikJateng, Selasa (14/3/2024).

Terkait kafarat yang dikenakan bagi seseorang yang melakukan hubungan badan saat berpuasa ini juga telah dijelaskan dalam Kitab Safinatun Najah halaman 112.

يجب مع القضاء للصوم الکفارة العظمی والتعزير علی من افسد صومه فی رمضان يوما کاملا بجماع تام اثما به للصوم ﴿سفينة النجاة ١١٢﴾

Artinya, "Selain qadha, juga wajib kafarah 'uzhma disertai ta'zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu pelakunya berdosa karena puasanya."

Lebih lanjut Aly menjelaskan, kafarat 'udhma ini dibagi menjadi tiga. Seseorang yang menjadi objek saat berhubungan badan harus menjalankan salah satu kafarat tersebut. Sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang berbunyi:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَلِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Artinya: "Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lantas berkata, 'Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadan'. Beliau bersabda, 'Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan'. Dijawab oleh laki-laki itu, 'Aku tidak mampu'. Beliau kembali bersabda, 'Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut'. Dijawab lagi oleh laki-laki itu, 'Aku tak mampu'. Beliau kembali bersabda, 'Berikanlah makanan kepada 60 orang miskin'." (HR. Bukhari).

Kafarat ini, kata Aly, tidak bisa dipilih, melainkan dilakukan secara beruntun sesuai kemampuan. Jika seseorang tidak mampu menjalankan kafarat pertama yaitu memerdekakan budak maka harus menjalankan kafarat kedua, yaitu puasa 2 bulan berturut-turut. Apabila masih tidak mampu, wajib memberi makan 60 orang.

Adapun untuk pembayaran kafarat dengan memberikan makan 60 orang miskin, 1 orang wajib mendapat 1 mud atau 750 gram. Jika ditotal maka dibutuhkan 45 kilogram beras untuk menjalankan kafarat ketiga ini.

Apabila menggunakan bahan pokok terasa sulit, ia juga boleh membayar menggunakan uang sejumlah 1 sha' bahan makanan pokok atau kurang lebih 3,8 kg beras untuk satu orang.

"Ini (kafarat) adalah ketika seorang pasutri melakukan jimak di siang hari tanpa dilakukan pembatalan sebelumnya. Itu yang kena kafarat," terang Aly.

"Kalau seumpama ada kasus bahwa seseorang itu sebelum jimak membatalkan dulu puasanya, kemudian dia melakukan jimak di siang hari di bulan Ramadan, maka tidak kena kafarat," sambungnya.

Meski begitu, orang tersebut tetap dosa, hanya saja tidak dikenai kafarat 'udhma. Sebab ia masuk dalam kategori bukan jimak ketika puasa. Sementara kafarat dikenakan kepada seseorang yang jimak dalam keadaan berpuasa.

Akan tetapi, lanjut Aly, membatalkan puasa tanpa alasan yang bisa diterima ini juga tidak boleh dilakukan. Terlebih dengan alasan untuk jimak. Sebab, seseorang yang membatalkan puasanya dengan sengaja sangat berdosa besar.

"Itu hukumnya dosa besar. Bahkan ada keterangan salah satu hadis, bahwa membatalkan puasa tanpa alasan yang bisa dibenarkan, dia akan merugi. Karena untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, dengan mengganti seumur hidup itu tidak cukup," ungkap Aly.

"Dosa besar kalau tidak ada halangan-halangan yang diperbolehkan untuk dia membatalkan puasa, semacam musafir atau hal yang dibolehkan oleh syariat. Bukan dia membatalkan karena jimak, itu nggak bisa," pungkas dia.

Bagi Anda pembaca detikJateng juga bisa menyampaikan pertanyaan seputar Puasa dan Ramadan yang akan dijawab oleh pakar di bidangnya. Pertanyaan bisa dikirim melalui email dengan subjek [bukber detikJateng] dan dikirimkan ke: infojateng@detik.com


Simak Video "Video: Kecelakaan Karambol di Tol Gayamsari Semarang, 8 Orang Terluka"

(ahr/rih)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork