UNESCO menggelar pameran arsitektur vernakular Omah Jawa Mbuduran. Pameran ini dimaksudkan untuk menampilkan pengetahuan hidup, keterampilan dan makna budaya yang tertanam dalam rumah Jawa.
Adapun pameran ini bertajuk 'Sambatan: Bongkar Pasang Pengetahuan Omah Jawa Mbuduran'. Pameran ini berlangsung 14 sampai 20 Desember di Balkondes Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Dalam pameran ini pengunjung bisa melihat dari awal proses pembuatan rumah Jawa. Termasuk pula pranata mangsa atau mencari hari baik untuk memulai memotong pohon.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan rumah. Selain itu, ada cetakan genting dari kayu maupun lainnya. Termasuk pula maket rumah limasan model mbuduran.
Bahkan hingga saat mendirikan rumah pun menggunakan pranata mangsa. Adapun saat ini jumlah Jawa, gaya limasan tersebut jumlahnya kian sedikit.
"Saya sendiri baru pertama kali melihat pameran ini hari ini dan saya benar-benar kagum. Saya tidak menyangka bahwa di balik konstruksi rumah tradisional vernakular yang indah, terdapat pengetahuan tentang alam yang begitu kompleks," kata Moe Chiba, Kepala Unit Kebudayaan Kantor Regional UNESCO Jakarta kepada wartawan di sela-sela pameran, Minggu (14/12/2025).
"Pengetahuan tersebut tercermin dari pemilihan material, penentuan hari, serta peralatan yang digunakan. Semuanya terasa seperti sebuah keajaiban," sambungnya.
Pameran yang dilangsungkan tersebut, katanya, ini merupakan bagian dari advokasi berkelanjutan UNESCO kepada Pemerintah Indonesia.
"Kami terus menyampaikan pesan bahwa upaya promosi Borobudur tidak bisa hanya berfokus pada candi dan taman arkeologinya saja. Apresiasi tersebut harus diperluas ke wilayah-wilayah sekitarnya," ujarnya.
"Namun, apresiasi ini tidak boleh didasarkan pada pemahaman budaya yang dangkal. Harus berangkat dari pemahaman yang sejati terhadap pengetahuan dan warisan budaya masyarakat setempat," kata dia.
Pihaknya menambahkan, pameran ini menjadi salah satu contoh bagaimana Indonesia dapat mempromosikan wilayah sekitarnya.
"Kami ingin menggunakan contoh ini untuk mendorong pemerintah agar lebih jauh mempromosikan pengetahuan desa dan mengembangkan pariwisata yang benar-benar berbasis masyarakat," ujar dia.
Sementara itu, kurator pameran, Rifandi mengatakan, pameran ini ingin menampilkan hasil riset tentang pemeliharaan rumah Jawa Mbuduran yang ada di sekitar Borobudur.
"Tapi, di luar itu juga kami ingin mengundang komunitas dan seniman dari luar kawasan Borobudur untuk bisa belajar di sini. Merasakan langsung rumah-rumah yang masih ada, pelaku-pelaku budaya yang masih ada, perajin yang masih ada," katanya.
"Sehingga ada interaksi antara dari luar wilayah dan di dalam wilayah, kemudian menampilkan juga inisiatif komunitas yang sudah ada. Makanya, dipilih namanya sambatan. Kita melihat rumah Jawa Mbuduran bukan sebatas sesi eksotisnya, eksplorasi masa lalu, tapi juga relevansinya hari ini," tegasnya.
Bagi generasi muda khususnya, kata Rifandi, sebetulnya potensi apa yang bisa dieksplorasi lagi dari kehadiran rumah Jawa.
"Jejak arsitektur rumah yang ada di sekitar Borobudur ini rumah Jawanya setiap tahun berkurang. Jadi, setiap tahun selalu berkurang karena banyak faktor yang ada, modernisasi, regenerasi yang sudah nggak berlanjut atau generasi baru pengen rumah berbeda. Terus ada juga faktor-faktor lain kayak perubahan sumber daya material, perubahan lanskap akhirnya membuat perawatan dan juga untuk membangun rumah Jawa semakin sulit," ujarnya.
Salah satu pembuat rumah Jawa, Taufik menambahkan, rumah Jawa Mbuduran model limasan perbedaannya dengan daerah lain di mander atau kerangka rumah.
"Mander itu adalah cangak memolo (penyangga gunungan). Kalau di daerah Mbuduran itu rata-rata mengambil jarak molo dengan dudur bagian adalah adalah sepertiga dari ruangan paling pinggir. Dan lebih tinggi mandernya," katanya.
"Tapi, untuk daerah Wonosari (rumah limasan) itu lebih dari sepertiga cara mengambil ukuran dari ruangan antara soko guru dan soko gojo. Jadi, lebih landai. Kalau daerah Kudus, Jepara, di tengahnya ada juga tidak pakai kolong kili. Kalau daerah Borobudur rata-rata pakai kolong kili dan juga masalah tata ruang di Borobudur (soko guru) ukuran 2,5 untuk kili, kemudian 3 untuk kolong. Dan itu menyesuaikan dengan tempat atau baturan," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sub Koordinator, Museum dan Cagar Budaya (MCB) Warisan Dunia Borobudur Wiwit Kasiyati menambahkan, pameran ini terkait dengan OUV Borobudur dan atributnya terkait dengan kawasan Borobudur.
"MCB unit Borobudur kan melestarikan lanskap budaya yang ada di sekitar Borobudur di antaranya adalah melestarikan bangunan-bangunan tradisional yang ada di kawasan Borobudur," kata Wiwit.
"Ini sampai memahami, bahkan sampai pengembangannya. Mudah-mudahan dengan pameran ini masyarakat semakin peduli untuk melestarikan bangunan-bangunan vernakular yang dimiliki masyarakat. Sehingga bangunan-bangunan yang ada ini tidak semakin punah karena rata-rata masyarakat tidak mampu melestarikan," tegasnya.
(aku/aku)











































