Pelat nomor merupakan tanda nomor kendaraan bermotor (TNBK). Ternyata penggunaan pelat awalnya hanya untuk identitas kendaraan yang dimiliki orang-orang kaya maupun pejabat di zaman penjajahan. Seperti apa kisahnya?
Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang (Unnes), Syaiful Amin, mengatakan awal mula muncul pelat pertama kali ada di Perancis pada tahun 1893. Tujuannya untuk mengetahui kepemilikan kereta kuda.
Namun lamban laun pelat kemudian diterapkan untuk mengetahui identitas kepemilikan kendaraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan mengidentifikasi kepemilikan kereta kuda itu maka dibuatkan kayak identitas berupa pelat," kata Syaiful kepada detikJateng lewat telepon, Kamis (13/4/2023).
Menurutnya, pelat dulunya berisi tentang alamat dan nama pemilik kereta kuda. Lamban laun pelat kendaraan dimanfaatkan sebagai identitas kepemilikan sebuah kendaraan.
"Untuk mengetahui identitas dan siapa yang memiliki kendaraan itu, karena waktu itu mobil diproduksi secara massal kan, bentuknya hampir mirip, yang membedakan identitas, identitas itu ditaruh di dalam pelat. Semula pelat hanya identitas nama, tapi kelamaan karena banyak menggunakan identitas palsu, maka untuk pelat nomor dikelola oleh pemerintah," kata dia.
Mobil Masuk ke RI Abad ke-19
Syaiful mengatakan keberadaan mobil di Hindia-Belanda mulai berkembang pesat pada abad ke-19. Mobil masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1900-an.
"Pada tahun 1900-an awal sudah mobil pertama masuk ke Indonesia. Padahal masih kurang 10 tahun mobil berkembang di Eropa langsung diimpor di Hindia Belanda," jelas Syaiful.
Syaiful menerangkan kala itu pemilik mobil sangat terbatas. Di antaranya pegawai pemerintah kolonial Belanda, kepala pabrik gula, dan keturunan orang kaya di Jawa termasuk Sultan Paku Buwono X.
Oleh karena itu, pemilik mobil merupakan orang-orang kaya dan berkedudukan tinggi pada masa itu.
"Banyak pegawai pemerintah orang kolonial, terutama kepala pabrik gula itu banyak yang beli. Termasuk Paku Buwono juga pesan (mobil), salah satu pribumi yang pesan mobil di Indonesia," jelas Syaiful.
"Jadi ada prestise sendiri orang di Hindia Belanda itu bisa memiliki mobil, itu seakan maju dibanding kereta kuda," lanjut dia.
(ams/dil)