Mengerjakan puasa sunnah pada malam Nisfu Syaban merupakan salah satu amalan yang dianjurkan bagi umat Islam. Namun terdapat sebuah hadits yang menjelaskan mengenai larangan puasa setelah Nisfu Syaban.
Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa ada beberapa jenis puasa yang boleh dilakukan pada waktu tersebut.
Hadits yang menjelaskan mengenai larangan berpuasa setelah Malam Nisfu Syaban tersebut dimuat dalam Kitab Sunan Ibnu Majah, seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
Artinya: "Jika telah lewat setengah dari bulan Syaban maka janganlah berpuasa hingga datangnya bulan Ramadhan." (HR Ibnu Majah. Shahih: al-Misykaat, ar-Rawdh, dan Shahih Abu Dawud)
Hadits tersebut juga turut diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Imam Ahmad, dan an-Nasa'i.
Imam Ahmad berpendapat, hadits tentang larangan puasa setelah Nisfu Syaban tersebut adalah syaadz atau bertentangan dengan hadits lain. Hadits tersebut bertentangan dengan hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
Artinya: "Janganlah kalian berpuasa sebelum bulan Ramadhan satu atau dua hari, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa." (HR Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin juga menjelaskan bahwa berdasarkan hadits tersebut boleh berpuasa tiga atau empat atau sepuluh hari sebelum bulan Ramadhan. Hal ini diterangkan olehnya dalam Kitab Syarah Riyadhus Shalihin yang diterjemahkan oleh Asmuni.
Menurut Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, hadits tersebut menjelaskan bahwa puasa sunnah setelah Nisfu Syaban hukumnya adalah makruh, bukan haram. Untuk itu, orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada hari itu, maka dia boleh tetap berpuasa sekalipun telah di separuh pertama bulan Syaban atau telah melewati Nisfu Syaban.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan dalam Kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu bahwa ulama mazhab Syafi'i berpendapat, umat Islam boleh menjalankan puasa setelah Nisfu Syaban jika orang tersebut memiliki kebiasaan puasa sebelumnya.
Puasa yang Boleh Dikerjakan Setelah Malam Nisfu Syaban
1. Puasa Senin dan Kamis
Puasa Senin dan Kamis adalah puasa sunnah yang selalu ditunggu-tunggu Rasulullah SAW semasa hidupnya. Beliau juga antusias ketika menjalankan ibadah tersebut. Aisyah RA mengatakan,
"Rasulullah SAW sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis." (HR Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
Aisyah RA juga mengatakan, "Rasulullah SAW selalu menunggu-nunggu saat berpuasa pada hari Senin dan Kamis." (HR Ahmad)
2. Puasa Daud
Puasa Daud adalah puasa sunnah yang diamalkan Nabi Daud AS. Puasa ini dilakukan dengan sehari berpuasa dan sehari berbuka atau selang-seling. Menurut sebuah riwayat, puasa Daud adalah puasa yang paling dicintai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda,
"Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, dan sholat yang paling dicintai Allah adalah sholat Daud. Ia tidur setengah malam dan bangun sepertiga malam, kemudian tidur (lagi) seperenam malam, dan ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari." (HR Bukhari dan Muslim)
3. Puasa Nazar
Puasa nazar adalah puasa yang dikerjakan untuk memenuhi janji karena menghendaki tujuan tertentu. Artinya, jika seseorang berjanji untuk berpuasa, maka ia wajib melakukan puasa tersebut.
Melansir detikHikmah, waktu pelaksanaan puasa nazar adalah kapan saja, sepanjang tidak dilakukan pada hari yang diharamkan untuk berpuasa. Misalnya, pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, hari tasyrik, dan ketika haid serta nifas.
Dalil pelaksanaan puasa nazar ini bersandar pada sabda Rasulullah SAW,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Artinya: "Siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya." (HR Bukhari).
4. Puasa Qadha
Puasa qadha adalah puasa yang wajib dilakukan bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 184,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Melansir dari detikHikmah, jumhur ulama berpendapat, batas akhir puasa qadha Ramadhan adalah sebelum datang bulan Ramadhan yang berikutnya. Dalam kata lain, puasa qadha masih bisa dilakukan pada hari-hari terakhir bulan Syaban.
Adapun, Ibnu Jazzi berpendapat, puasa pada hari syakk (hari terakhir bulan Syaban dengan niat ihtiyath apabila hilal Ramadhan tidak tampak) hukumnya makruh.
Demikian penjelasan mengenai puasa yang boleh dikerjakan setelah malam Nisfu Syaban. Semoga bermanfaat, Lur!
(sip/sip)