Tak banyak yang tahu, pada tahun 1948 Ibu Kota Jawa Tengah pernah dipindahkan ke Kabupaten Purworejo, tepatnya di Desa Giyombong, Kecamatan Bruno. Lalu seperti apakah suasana bekas pusat pemerintahan Jawa Tengah itu saat ini?
Bagi warga masyarakat Kabupaten Purworejo, Kecamatan Bruno dikenal sebagai daerah terpencil dan bergunung-gunung. Namun sebagian besar pasti tak menyangka jika daerah tersebut dulu pernah dijadikan sebagai Ibu Kota Jawa Tengah.
Ya, pusat Pemerintahan Jawa Tengah pernah dipindahkan ke Desa Giyombong. Desa ini terletak sekitar 45 km ke arah barat laut dari Alun-alun Kota Purworejo. Meski berkelok-kelok, jalan utama menuju kantor Kecamatan Bruno sudah halus dan bisa dilalui kendaraan roda empat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selepas dari kantor kecamatan menuju arah Desa Giyombong, jalan akan semakin mengecil dengan jalur naik turun, bahkan sekitar 10 km sebelum tiba di lokasi bekas pusat pemerintahan Jawa Tengah ini, kita harus melewati jalur setapak dengan tanjakan dan turunan ekstrem.
Tokoh masyarakat Desa Giyombong, Supri Yogi Santoso (55), menuturkan Ibu Kota Jawa Tengah sempat berada di desa tersebut pada tahun 1948 selama kurang lebih 4 bulan. Pusat pemerintahan yang terletak di perbukitan itu memiliki kantor pemerintahan, rumah gubernur, hingga lapangan.
Namun, semua bangunan tersebut sekarang sudah tidak ada yang tersisa lagi karena sudah ambruk dan sebagian telah digantikan dengan rumah-rumah warga. Bahkan, rumah dinas gubernur yang waktu itu bernama Wongsonegoro kini telah menjadi pekarangan yang ditanami pohon ketela.
"Dahulu memang di sini di Dusun Mentasari, Desa Giyombong pernah menjadi pusat pemerintahan Jawa Tengah pada tahun 1948 selama 4 bulan, namun kami lupa dari bulan apa. Di sekitar sini ada bangunan kantor pemerintahan, rumah tinggal gubernur, dapur umum, lapangan, dan tempat olahraga," kata Yogi saat ditemui detikJateng di lokasi, Senin (8/8/2022).
Terkesan jauh dan terpencil dari perkotaan, namun daerah Bruno menyimpan potensi alam yang sangat luar biasa. Keindahan alam serta suasana sejuk yang menyergap, membuat siapa pun bakal betah berlama-lama di Bruno.
Jika menuju Desa Giyombong, alangkah indahnya kita juga singgah di Curug Gunung Putri serta Puncak Kahyangan Sigendol yang terletak beberapa kilometer sebelum sampai di Desa Giyombong. Tak salah, jika kita menengok petilasan Ibu Kota Jawa Tengah sebagai destinasi sejarah sembari menikmati keeksotikan alam Bruno.
Setibanya di Desa Giyombong, biasanya nampak kabut tipis melambai-lambai menyambut siapa saja yang datang. Warga setempat juga jarang sekali merasakan gerah lantaran sinar matahari tak mampu menyusup sempurna terhalang mendung yang senantiasa memayungi desa ini.
Angin sepoi-sepoi yang menerpa, membuat suasana semakin sejuk. Dengan mata air alami yang terus mengalir, desa ini nyaris tak pernah mengalami kekeringan meski musim kemarau tiba. Jika ingin merasakan air pegunungan yang dinginnya seperti air es, kita bisa langsung mandi dan menikmati sensasinya.
"Di sini memang suasananya seperti ini, mboten nate sumuk (tidak pernah gerah). Saya yang asli sini saja setiap hari pakai jaket," imbuh Yogi.
Peninggalan Gubernur Wongsonegoro di Giyombong, simak di halaman selanjutnya..
Peninggalan Gubernur Wongsonegoro yang masih tersisa hingga saat ini adalah brankas dari besi, sepasang bangku kayu panjang beserta meja. Peninggalan itu sekarang tersimpan di sebuah rumah kosong yang terletak di samping bekas rumah Gubernur Wongsonegoro.
Lebih lanjut Yogi menjelaskan bahwa wilayah pemerintahan Jawa Tengah pada saat itu juga mencakup desa lain di sekitar Giyombong yakni Kemranggen dan Kambangan. Namun, untuk pusat pemerintahan tetap berada di Desa Giyombong yang kini telah berubah menjadi rumah-rumah warga.
"Untuk tidurnya dulu Pak Gubernur di rumah milik Mbah Arso Pawiro yang sekarang milik Bapak Kimis. Untuk kantor atau sekretariat dulu di rumah milik Bapak Setra Wikrama sekarang milik Bapak Turahno, sedangkan dapur umum dulu di rumahnya Pak Santani sekarang jadi milik Pak Waryani," jelasnya.
Bangunan tersebut, terletak saling berdekatan dengan gang yang sempit. Di sekitar desa, nampak bukit-bukit dengan pepohonan yang rimbun. Ketika detikJateng menjumpai warga sekitar, mereka nampak ramah dan menyambut dengan baik bahkan beberapa kali menawarkan agar mampir sejenak di kediaman mereka.
Sebagian besar mata pencaharian warga setempat adalah sebagai petani dan peternak kambing. Sebagai tokoh masyarakat, Yogi berharap agar ke depan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk pengembangan paket desa wisata sejarah.
![]() |
"Harapan saya ya adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk pengembangan paket desa wisata sejarah. Selama ini kami sudah membuat paket desa wisata, salah satu paketnya wisata sejarah di Desa Giyombong, tapi untuk paket sejarahnya sampe saat ini belum terealisasi karena ada beberapa kendala," harapnya.
Dinginnya suasana pegunungan di Desa Giyombong ternyata sudah dirasakan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Hal itu diungkapkan salah satu saksi hidup Gubernur Wongsonegoro, yakni Mbah Suyarto (82). Ia merupakan anak dari almarhum Mbah Arso Pawiro, pemilik rumah yang dulunya ditempati oleh Gubernur Wongsonegoro.
Ditemui detikJateng di kediamannya, kakek yang memiliki 28 cucu dan buyut ini menuturkan bahwa semasa kecil ia sering bertemu dengan Gubernur Wongsonegoro yang sering dipanggil dengan sebutan Pak Ageng, bahkan ia beberapa kali sempat berjemur bersama untuk menghangatkan badan.
"Dulu saya sering karing (berjemur) sama Pak Ageng (Gubernur). Tapi bapak saya malah menegur karena takut saya nggak sopan sama Pak Ageng," tuturnya.