Sejarah Perang Kuning, Tonggak Lahirnya Spirit Kebhinekaan di Lasem Rembang

Sejarah Perang Kuning, Tonggak Lahirnya Spirit Kebhinekaan di Lasem Rembang

Mukhammad Fadlil - detikJateng
Rabu, 01 Jun 2022 10:46 WIB
Poskamling bergaya bangunan China dengan tulisan arab pada bagian tepi pintu menjadi simbol kerukunan antar masyarakat yang berbeda etnis di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Poskamling bergaya bangunan China dengan tulisan arab pada bagian tepi pintu menjadi simbol kerukunan antar masyarakat yang berbeda etnis di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. (Foto: Mukhammad Fadlil/detikJateng)
Rembang -

Sejarah perang Kuning yang terjadi di Lasem, Kabupaten Rembang, pada era tahun 1740, menjadi tonggak lahirnya spirit kebhinekaan di wilayah tersebut. Sebab melalui perang Kuning itulah mulai terjalin kerukunan antaretnis di Lasem.

Salah satu tokoh Tionghoa di Lasem, Kabupaten Rembang, Rudi Hartono, menceritakan sejarah Perang Kuning yang terjadi di Lasem. Rudi menuturkan, saat itu Lasem merupakan wilayah kadipaten.

Adipatinya seorang keturunan China bernama Oei Ing Kiat. Sementara tokoh penggerak masyarakat dari komunitas Jawa, adalah Raden Panji Margono.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perang Kuning bermula antara masyarakat pribumi melawan kompeni Belanda. Perang itu dimulai ketika selesai salat Jumat, di depan Masjid Jami Lasem dan dipimpin oleh panglima perang yang bernama Kiai Ali Baidlowi atau panggilan Jawa-nya Joko Tirto.

"Dari situ (perang Kuning) sudah kelihatan, bahwa kerukunan antar masyarakat di Lasem yang heterogen ini sudah terjadi sejak dulu. Yang mana pada waktu itu masyarakat yang berbeda etnis bersatu untuk perang melawan penjajahan Belanda," tutur Rudi, ditemui detikJateng di rumahnya di Desa Katangturi Lasem, Rabu (1/6/2022).

ADVERTISEMENT

Menurut Rudi, dari peristiwa perang Kuning, masyarakat bisa meneladani spirit kebhinekaan dalam menjaga keberlangsungan negara. Ia mengungkapkan, kerukunan itu masih tetap terjaga hingga saat sekarang. Masyarakat yang berbeda etnis hidup rukun dan saling membaur, serta saling bantu sama lain.

Tokoh Tionghoa di Lasem, Kabupaten Rembang, Rudi Hartono.Tokoh Tionghoa di Lasem, Kabupaten Rembang, Rudi Hartono. Foto: Mukhammad Fadlil/detikJateng

Dirinya mencohtohkan, seperti saat bulan Ramadan lalu, masyarakat yang dari etnis Tionghoa ikut berbagi takjil bagi umat muslim untuk buka puasa. Begitu pun sebaliknya, pada saat hari-hari besar China, misalnya ketika Hari Imlek, masyarakat yang muslim juga turut andil.

"Di sini itu meskipun masyarakatnya berbeda ya biasa saja, rukun-rukun saja. Untuk mempertahankannya (kerukunan) itu memang harus saling membaur. Saya sendiri meskipun keturunan China, ya biasa membaur bareng siapa saja," ungkapnya.

Di tengah semakin mudahnya akses informasi sekaligus komunikasi, Rudi berpesan terhadap generasi setelahnya untuk tetap membaurkan diri secara langsung dalam sosial kemasyarakatan. Karena dengan begitu, mampu menjaga hubungan silaturahmi sesama warga yang heterogen.

"Untuk generasi sekarang ini, walaupun informasi dan komunikasi itu semakin canggih, tapi tetap harus bersosial masyarakat secara langsung. Masing-masing harus saling membaur, bertemu, berinteraksi. Dari situ nanti silaturahmi, semangat kebersamaan itu akan terus ada," pungkasnya.




(aku/aku)


Hide Ads