Bakdan atau Lebaran selalu menjadi peristiwa penting bagi kalangan muslim melodramatis di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Saya katakan demikian, karena fenomena ingar-bingar menyambut bakdan hanya terjadi di Asia Tenggara.
Selebihnya, di negara-negara muslim di belahan bumi lain, Idul Fitri disambut sederhana dan lebih dimaknai sebagai hari kembalinya kemurnian jiwa.
Di Indonesia, peristiwa Lebaran menjadi campur baur antara peristiwa keagamaan dengan napas peristiwa tradisi yang jauh lebih kental. Pemaknaan Idul Fitri tak cukup diartikan sebagai hari kembalinya kemurnian jiwa seperti di tempat lainnya, tapi juga dimaknai sebagai hari lebaran atau hari bakdan dan lebih dikuatkan sebagai 'hari kemenangan'.
Baca juga: Kembali ke Udik |
Lebaran atau bakdan yang artinya adalah 'selesai' atau 'pasca' menyiratkan bahwa peristiwa puasa sebulan penuh di depannya merupakan sebuah tahapan ujian berat, karenanya perlu dirayakan secara besar-besaran setelah berhasil dilalui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jargon 'hari kemenangan' selanjutnya juga sering bergeser pada pemaknaan kurang pas. Itu karena ungkapan kemenangan bagi sebagian orang tak selalu diikuti dengan rasa syukur dan kerendahhatian, namun justru sering kali di dalamnya terselip rasa 'mumpung' dan rasa ingin 'balas dendam'.
Idul fitri juga dimaknai kembali kepada kesucian dan perlu diikuti kelegawaan untuk saling memaafkan. Adanya sebuah tuntunan bahwa meminta maaf kepada kedua orang tuanya harus didahulukan sebelum kepada orang lain, telah menciptakan sebuah gelombang migrasi manusia luar biasa di negeri ini.
Gelombang perjalanan massal yang kemudian sering kita sebut sebagai mudik, tercatat sebagai peristiwa migrasi manusia terbesar yang pernah terjadi di muka bumi setiap tahunnya.
Namun toh harus secara objektif kita menilai mudik. Ada sisi positif dari tradisi mudik tersebut. Dengan fenomena mudik, sadar atau tidak kita telah telah masuk dalam peristiwa sangat penting berupa reuni akbar anak manusia.
Tidak hanya bertemu orang tua dan keluarga inti, dengan mudik kita akan bertemu dengan sanak saudara, handai-taulan, kerabat besar, teman sepermainan, bahkan jika sempat akan 'bertemu' dengan para leluhur yang sudah sumare di pemakaman.
Dengan demikian maka mudik, yang arti harfiahnya menuju ke udik atau kawasan hulu atau tempat asal, telah menuntun kita pada bersatunya kembali pada asal-muasal. Memahami kembali proses penciptaan, menghayati lebih jauh tentang konsep sangkan paran.
Namun bukannya kemudian tanpa ekses negatif dari fenomena kumpul bersama atau reuni anak manusia di masa Lebaran. Situasi sosial dan pengertian lebaran tadi seringkali mendorong orang untuk abai makna Idul Fitri. Banyak orang yang kemudian 'mengada-adakan' sesuatu secara berlebihan untuk bisa hadir dalam suasana reuni tersebut.
Apa lagi, tahun ini adalah tahun mudik akbar. Istilah ini mungkin kurang tepat secara makna namun secara umum sering dipakai untuk menyebut bahwa inilah luapan pergerakan arus manusia setelah dua lebaran sebelumnya ada larangan mudik akibat pandemi. Semoga kebijakan pelonggaran mudik kali ini lebih berdampak pada kembali bergeraknya roda ekonomi rakyat, terhindar dari potensi mewabahnya lagi COVID-19 karena memang pandemi belum usai.
Akhirnya memang peristiwa lebaran masih jauh dari pemaknaan dari sikap penghayatan dari nilai-nilai keagamaan. Peristiwa lebaran lebih kuat tampil sebagai peristiwa tradisi. Saya juga tidak ingin pula menyebut bahwa sebagai tradisi maka peristiwa lebaran harus dihindari.
Bukan begitu. Akan lebih menggembirakan lagi jika peristiwa reuni akbar itu disambut dengan semangat keidulfitrian, bukan semangat orang lebaran atau gegap gempita bakdan yang sering bertipu daya. Landasi dengan kejujuran. Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.
Solo, 1 Mei 2022
===
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/ahr)