Bahan Baku Sampah Terbatas, Walhi Jateng: Proyek PLTSa di Solo Dipaksakan

Bahan Baku Sampah Terbatas, Walhi Jateng: Proyek PLTSa di Solo Dipaksakan

Ari Purnomo - detikJateng
Selasa, 29 Mar 2022 17:22 WIB
Kondisi gunung sampah di TPA Putri Cempo, Mojosongo, Solo, Senin (10/1/2022).
Kondisi gunung sampah di TPA Putri Cempo, Mojosongo, Solo, Senin (10/1/2022). Foto: Ari Purnomo/detikcom
Solo -

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Putri Cempo, Mojosongo, Kota Solo. Mereka menganggap proyek tersebut terlalu dipaksakan.

Banyak hal yang menurut Walhi tidak dipertimbangkan secara matang terkait proyek pembangkit listrik tenaga sampah itu.

"Sebenarnya ada beberapa kajian yang kami lakukan terkait dengan PLTSa itu, dan beberapa sudah dibahas saat audiensi di DPRD (Solo) pada Selasa (22/3) lalu. Itu terlalu dipaksakan dalam konteks pembangunan PLTSa," terang Direktur Eksekutif Walhi Jateng Fahmi Bastian saat dihubungi detikJateng, Selasa (29/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fahmi melanjutkan, dalam kajian Walhi, dia melihat adanya kebutuhan bahan baku sampah yang cukup besar jika PLTSa beroperasi. Bahan baku sampah yang dibutuhkan mencapai 450-500 ton per hari untuk bisa menghasilkan listrik sebesar 5 Megawatt.

"Di Bantargebang untuk menghasilkan listrik 0,5 megawatt butuh 100 ton per hari sampah kering. Ini 5 megawatt butuh 450-500 ton per hari, sementara di Solo produksi sampah per hari 200 ton, sisanya dari mana?" ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Dia menyebut kebutuhan itu pada saat ini bisa ditutup dari tumpukan sampah yang saat ini menggunung di TPA Putri Cempo. Namun tumpukan sampah itu akan habis dalam waktu singkat mengingat kebutuhan bahan baku PLTSa yang cukup besar.

"Proyek PLTSa dengan masa kontrak 20 tahun kebutuhannya 450 ton per hari dengan sampah kering yang harus dipilah dengan biaya operasional yang tinggi. (Tumpukan) Di Putri Cempo itu mungkin 200 ribu ton atau 500 ribu ton, kira-kira cuma berapa tahun itu habis. Terus pasca itu mau lima tahun atau tiga tahun habis, kontraknya 20 (tahun) berarti akan ngomong soal mendatangkan sampah dari berbagai daerah, " bebernya.

Selain soal proyeknya, Walhi juga menyoroti soal nasib pemulung yang selama ini menggantungkan hidupnya di TPA. Menurut Fahmi, Pemkot Solo harus mempunyai konsep yang jelas untuk memastikan nasib warganya jika nanti lokasi TPA ditutup.

"Contoh di Benowo Surabaya, pemulung tidak masuk ke lokasi TPA. Mereka juga tidak ada pekerjaan, karena wilayah PLTSa itu sudah ditutup. Kalau Putri Cempo ditutup, pemulung kemana? Perencanaan harus jelas, jangan 'nanti ya akan kami pindah'," urai Fahmi.




(ahr/ams)


Hide Ads