Sosok Saifuddin Ibrahim menjadi sorotan setelah pernyataannya meminta pemerintah menghapus 300 ayat Al-Qur'an. Sebelum menjadi pendeta, Saifuddin Ibrahim ternyata alumnus di Pondok Hajah Nuriyah Shabran-UMS angkatan 1984.
Saifuddin dikenal sebagai sosok senior yang periang dan murah senyum. Dia juga dikenal sebagai kakak tingkat yang dekat dengan para juniornya.
"Dia bersikap begitu kepada siapa saja. Pembawaannya riang-riang saja, makanya ia cepat dan mudah dikenal oleh adik-adik tingkatnya. Sehingga banyak sekali yang suka kepada keramahannya," ujar salah satu teman kuliahnya Budi Nurastowo Bintriman, kepada detikJateng, Kamis (17/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi mengaku sebagai angkatan 1986, sedangkan Saifuddin Ibrahim angkatan 1984. Budi menyebut kala kuliah, Saifuddin Ibrahim punya julukan sebagai Bang Kocek. Nama ini pula yang menjadi nama penanya saat menjadi penanggung jawab salah satu rubrik pers mahasantri Pondok Hajah Nuriyah Shabran-UMS.
"Rubrik itu berisi nilai-nilai sufisme Islami yang dikemas dengan redaksional enteng. Dalam tulisan-tulisannya, Saifuddin biasa mengangkat kisah-kisah jenaka penuh makna dari Nasrudin Efendi (Abu Nawas versi Turki)," kata Budi.
Menurut Budi, selama menjadi mahasantri, Saifuddin dikenal sebagai kader yang manis dan penurut. "Terbukti saat pernikahannya, para petinggi Pondok Hajjah Nuriyah Shabran-UMS hadir ke Jepara. Bahkan penceramah nasehat perkawinannya adalah pucuk pimpinan Pondok Hajjah Nuriyah Shabran-UMS," ujar Budi.
Namun, kata Budi, Saifuddin dikenal memiliki hobi aneh saat kuliah. Meski pecinta kucing, Saifuddin kerap mengebiri kucing.
"Ia penyayang kucing. Tapi kucing yang ia sayangi pasti dikebirinya. Hingga kini masih terngiang di telinga saya, suara jeritan kucing kecil saat dikebiri secara sadis olehnya," terang Budi yang juga penyayang kucing.
Dia menyebut hal ini membuatnya tak lagi simpatik kepada Saifuddin. Dia mengaku mendengar kabar Saifuddin mengabdi di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqom Sawangan Bogor milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta pada 1994. Namun, menurutnya, kala itu pesantren tersebut kesusupan paham NII KW IX. Bahkan Saifuddin menjadi salah satu yang terpengaruh dengan pemahaman tersebut.
"Jadi pertanyaan yang luar biasa besarnya. Bagaimana ceritanya Saifuddin yang kader elite Muhammadiyah bisa menyebarkan paham sesat itu (NII) ke pondok pesantren," jelas Budi.
Dari kabar yang diterimanya, Saifuddin bahkan menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung di NII KW IX yang bertugas membaiat anggota baru di NII. Tiap orang yang dibaiat disebut wajib menyetorkan duit Rp 20 ribu kala itu atau sekitar Rp 200 ribu saat ini.
Budi pun mengaku kaget saat bertemu dengan Saifuddin Ibrahim pada 1995. Kala itu, Saifuddin mendadak menjadi perlente dan memakai pager yang merupakan alat komunikasi tercanggih pada masa itu.
"Bajunya, celananya, sepatunya, sabuk gespernya, dan arlojinya, semuanya branded (bermerek). Ia juga mengenakan cincin emas mencolok. Suatu hal yang di Pondok Hajah Nuriyah Shabran-UMS dulu tak terbayangkan bisa nempel pada diri Bang Kocek," ungkap Budi.
"Sikap riang dan cerianya masih ada. Hanya saja, ia tambah sikap petentang-petenteng. Itu sangat kurasakan saat ia ngobral atau mendakwahkan superioritas gerombolan NII KW IX kepada saya," sambung Budi.
Dia pun kembali mendapatkan kabar seniornya itu murtad pada 2014. Kabar itu dia terima dari seorang guru Bahasa Indonesia di Pondok Pesantren Al-Zaitun Indramayu. Budi pun menyesalkan pernyataan Saifuddin Ibrahim ketika sudah menjadi pendeta itu.
"Saya cuma heran, kenapa dia jadi sebodoh itu dalam keberanian atau kenekatannya nyinggung-nyinggung agama lain (seperti dalam videonya yang viral). Dia Kristen tapi ngurusi agama Islam," kata Budi menyesalkan.
"Ya kami menyayangkan itu," ujar salah satu pembina di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran-UMs, Muttoharun Jinan menambahkan.
(ams/aku)