Menurut pakar ilmu sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr Drajat Tri Kartono, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi setelah aparat bertindak represif terhadap masyarakat. Hal itu disampaikan Drajat untuk merespons kericuhan yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Selasa (8/2/2022) lalu.
"Ada dua kemungkinan ketika gerakan sosial ditekan. Yang pertama, gerakan itu akan semakin membulat atau utuh, walaupun aktivis pentingnya diambil (ditangkap)," kata Drajat saat dihubungi detikJateng, Kamis (10/2/2022).
Drajat mengatakan, masyarakat yang ditekan tetap akan bergerak dari bawah permukaan alias bergerilya. Di sisi lain, tindakan represif aparat tersebut akan menyisakan jeritan rakyat yang berujung pada penilaian negatif mereka terhadap pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang kedua, yakni munculnya simpati dari berbagai kalangan masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya di desa itu, tapi juga di tempat lain. Dan, simpati itu meluas tempat lain," kata Drajat.
Drajat menambahkan, merebaknya tagar (#wadasmelawan) di media sosial merupakan petunjuk bahwa dukungan dari masyarakat terhadap warga Desa Wadas yang menolak penambangan batu andesit itu sudah meluas.
"Kita harus lihat setelah ini, dukungan (untuk warga Wadas) sudah kelihatan, dan itu represif tidak diharapkan dalam menyelesaikan sebuah perbedaan," ujar Drajat.
"Karena yang diperebutkan urusan aset industri, antara pengusaha atau pemerintah yang bakcground-nya kaya raya dengan masyarakat yang hanya bertahan hidup. Dalam relasi kuasa ini tidak seimbang," kata Drajat.
Drajat menambahkan, banyak contoh kasus tindakan represif aparat terhadap warga yang dampaknya berkepanjangan. "Itu betul-betul menjadikan sisa-sisa ideologi perlawanan secara turun menurun dan menjadi catatan buruk bagi pemerintah," pungkasnya.
(dil/rih)