Rumah Milea, begitu orang menyebut sebuah rumah lawas di Malabar, Lengkong, Kota Bandung itu. Rumah tersebut seolah punya magnet tersendiri bagi mereka yang melihatnya.
Bentuk rumahnya sederhana, namun bangunan yang didominasi warna abu-abu kebiruan dan putih ini seolah 'kawin' dengan area halaman yang rimbun dan hijau. Fasadnya tampak rapi dan cantik, hingga memancing para sineas untuk meminjam rumah milik kakak beradik Tin dan Penny itu, jadi tempat syuting.
"Tahun 2018 dipakai syuting Dilan itu 10 hari, terus nggak lama itu syuting lagi pakai rumah ini. Selain film itu juga banyak sebelum dan sesudahnya, ada Sweet 20, Garuda 23, terus ada film yang main Surya Saputra, banyak lah rumah ini sudah sering dipakai syuting. Sampai sekarang yang nawarin juga banyak banget," cerita Tin, sang pemilik rumah pada detikJabar beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, rumah ini bukan sekedar lokasi syuting semata. Bisa dibilang, rumah ini juga jadi saksi bisu era kolonial di Kota Bandung.
Tin bercerita, rumah 'Milea' dibangun pada tahun 1917 yang kemudian jadi milik keluarganya pada tahun 1947. Di rumah itu lah, Tin dan kelima saudaranya dibesarkan oleh mendiang orang tua mereka.
"Bangunan ini berdiri tahun 1917, sudah 100 tahun lebih ya. Saya tinggal di sini sejak umur tiga tahun, kalau adik saya sejak lahir sudah di sini. Dulu jalanan itu hanya sampai Jalan Galunggung, jadi jalan Laswi dan sekitarnya itu belum ada. Masih hijau aja, kebun, rawa, sawah," katanya.
"Ke selatannya itu sampai Buah Batu, masih sepi ya. Ke selatannya cuma sampai Talaga Bodas. Sekarang Bandung memang sudah ramai, banyak polusi dan lebih panas," sambung Tin.
Hingga kini, rumah ini masih kokoh berdiri dari tahun ke tahun. Rumah tersebut kemudian ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya Golongan B Kota Bandung.
Kalau detikers memperhatikan, rumah 'Milea' punya beberapa ciri khas dengan rumah era kolonial lainnya. Satu di antaranya ialah bagian atap rumah yang high ceiling atau punya jarak cukup jauh antara langit-langit dan lantai rumah.
"Rumah ini kan nggak pakai AC, jadi kalau Bandung sedang panas ya terasa. Cuma orang yang luar datang ke sini, biasanya tertarik dan selalu bilang rumahnya enak, asri, adem. Jadi rumah zaman dulu tuh sepertinya yang bikin adem tuh itunya (langit-langit) dan lantainya ini tidak diubah," ucap Tin.
Dari bagian depan rumah, pagar yang digunakan ialah pagar besi dibuat rendah. Bentuk dan modelnya pun sederhana saja. Konon, ukuran pagar yang tak terlalu tinggi ini untuk memudahkan antar tetangga bertegur sapa. Jauh berbeda dengan pagar rumah masa kini yang dibuat tinggi, berwarna gelap, dan tertutup.
Atap muka rumah berbentuk limas, mengingatkan kita pada rumah-rumah di Jalan Cipaganti dan Cihapit, meski mungkin tinggi atapnya berbeda. Pada bagian depan rumah, ada jendela berukuran cukup besar tanpa teralis. Hanya gorden putih untuk menutupi isi ruangan. Tin mengaku selalu membuka jendela ini setiap pagi, guna melancarkan sirkulasi udara dalam rumah.
Jendela besar ini ada di bagian muka rumah, serta dua buah di kanan kiri pintu utama. Hal ini juga jarang ditemukan di rumah zaman sekarang yang jendelanya dibuat minimalis, belum lagi yang ditambah dengan teralis atau hanya bisa dibuka sebagian.
"Rumah ini kan termasuk heritage, jadi nggak boleh diubah. Kita bersih-bersihin aja, dirawat. Saya sih nggak senang dengan model-model rumah sekarang, karena kalau jendela besar ini udaranya tuh kuat, yang masuk banyak. Jadi adem, kalau pagi itu saya buka," tutur Tin.
"Ada juga tetangga sering lewat sini, katanya saya melihat rumah ini kok setiap harikayaknya asri banget, dingin banget, semua dibuka begitu. Nah saya sih memang setiap pagi begitu. Kamar semua dibuka, jendela juga. Dan selain jendela, mungkin yang bikin orang tertarik itu bentuk pagarnya ya," lanjut dia.
Interior Serba Kayu dan Tatanan Rumah Khas Zaman Dulu
Rumah yang terlihat cantik dan asri dari luar ini, nampaknya berukuran tak terlalu luas. Tapi jangan salah, ternyata rumah ini cenderung memanjang ke belakang. Tin dan Penny seperti punya istana sendiri.
Tin pun mempersilakan tim detikJabar untuk masuk ke dalam kediamannya. Guna menghormati privasi pemilik rumah, kami memutuskan untuk tidak mengabadikan satu pun bagian dalam rumah ini.
Tapi, beberapa dokumentasi perumahan zaman Belanda dulu bisa menggambarkan betapa apiknya. Isi rumah ini betul-betul masih terawat dengan baik, model arsitektur Eropa terasa kental sampai ke bagian dalam rumah.
"Paling kita itu bersih-bersih saja, dicat ulang lagi, terus pagar itu kan rusak karena didudukin yang pada foto, jadi kami betulkan lagi. Terus bagian atap itu sempet kena rayap sampai belakang, karena awalnya ini dari kayu. Sekarang pakai aluminium baja ringan," ucap Tin menunjukkan bagian langit-langit rumahnya.
![]() |
Masuk dari pintu utama, kita akan langsung disambut dengan ruang tengah yang berukuran sangat besar. Sofa-sofa yang warnanya tidak senada dan banyak memanjang, mengisi bagian ruang tamu. Sebelah kanan dan kiri ruang tamu ialah beberapa kamar berukuran tak kalah besar, satu kamar bisa berukuran setengah ruang tamu.
Foto keluarga Tin dan Penny masih terpampang rapi di dinding. Serta yang jadi identik rumah zaman dulu, ialah rak buku sekaligus laci tertutup dari kayu yang bentuknya memanjang dan ukuran cukup besar. Bukan seperti rak buku kekinian yang tinggi, terbuka, lalu terbuat dari MDF dan particle board alias kayu buatan yang rentan rusak.
"Ya ini ruang tamu dan keluarga, dulu kan ini untuk keluarga besar ya. Saya enam bersaudara. Sekarang semuanya sudah pada nikah, punya rumah sendiri-sendiri, jadi ini kami tempati dan jadi untuk kumpul-kumpul kalau keluarga besar kesini," ujarnya.
Dari pintu utama, kita sudah bisa melihat bagian ruang makan, sebab di antara ruang tamu dan ruang makan ini dipisahkan dengan tiga part jendela yang ukurannya sangat besar. Tin membuka jendela tersebut.
Kaca jendelanya pun khas jaman dulu, regan dan jerijinya berbentuk kotak-kotak memanjang susun empat. Simpel dan fungsional, sebab kaca jendela bisa dibuka selebar-lebarnya dengan ditahan hak angin. Ternyata resep rumah ini terasa adem tanpa AC atau kipas selain high ceiling, yakni rumah ini punya dua sirkulasi udara besar selain dari halaman, yakni dari taman belakang.
"Di sini taman belakang, saya dulu menanam anggrek banyak sekali, terus ada kolam kecil ikan koi, kura-kura, gitu. Di dalam ini ada garasi, lalu sebelahnya kebun kecil untuk tanaman saya dibuat dua tingkat. Ini jendela ukuran besar ya, zaman dulu, saya buka juga supaya udara yang masuk banyak," kata Tin menunjukkan bagian rumahnya.
Ruang makan ini menyatu dengan dapur, ruang santai, dan beberapa kamar. Bentuknya L, mengelilingi taman sekaligus garasi. Tak ada dinding yang tak berjendela, semuanya punya jendela dan ukurannya besar-besar.
Lantai rumahnya ialah tegel berwarna krem gelap, ciri khas ubin jaman dulu. Warnanya konsisten dipakai dari teras sampai ke bagian ruang belakang rumah.
Tin dan Penny biasa membuat jajanan kue basah di meja dapur yang menghadap langsung ke taman itu. Televisi yang letaknya ada di depan ruang makan juga biasa menemani mereka beraktivitas.
Jejak Kompleks Perumahan Bandung yang Dibangun Bertahap oleh Belanda
Selama masa kolonial Belanda, di Kota Bandung dibangun banyak bangunan administratif, komersial, dan perumahan sesuai dengan gaya arsitektur Belanda. Bagian dalam rumah Tin dan Penny, mungkin hampir serupa dengan beberapa rumah cagar budaya yang tersebar di beberapa titik.
Dalam Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JUARA), Nadhil Tamimi, Indung Sitti Fatimah dan Akhmad Arifin Hadi membuat penelitian berjudul Analisis Sebaran Lokasi Bangunan Kolonial di Kota Bandung Menggunakan Getis-Ord Gi* Hot Spot Analysis.
Beberapa rumah di Kota Bandung lekat dengan arsitektur kolonial yang memadukan antara arsitektur modern di Belanda dengan arsitektur Indonesia. Arsitektur itu dikembangkan di Indonesia sekitar abad 17 sampai tahun 1942.
"Bangunan pada arsitektur kolonial dapat dilihat dari elemen bangunan berupa atap gable, kolom yang tinggi, jendela tinggi, dan warna putih pada dinding. Bandung menjadi laboratorium arsitek Belanda pada tahun 1920-1940 karena beberapa alasan penting," tulis Nadhil dkk dalam jurnal tersebut.
Dalam penelitian tersebut diungkap salah satu alasan mengapa pembangunan dilakukan serentak, dengan mengadopsi beberapa model yang seragam. Sebab di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), arsitek Belanda menemukan lahan yang luas dan penduduk yang masih jarang.
Hal ini memungkinkan mereka untuk bereksperimen dengan desain dan konsep arsitekturnya. Tak heran jika setiap rumah cagar budaya, punya luas rata-rata yang cukup besar, bisa di atas 500 meter persegi.
"Dengan demikian, Bandung menjadi laboratorium arsitek Belanda karena kombinasi dari ketersediaan lahan luas, keterbatasan musim, revolusi perumahan, pembangunan infrastruktur, dan kemampuan arsitek yang inovatif," tulis jurnal itu.
Dalam penelitian tersebut juga turut mendata bahwa bahwa persebaran bangunan kolonial paling padat terletak di Braga. Kemudian daerah dengan kepadatan kedua yakni di Babakan Ciamis, disusul dengan wilayah Citarum, Merdeka, dan Balonggede. Wilayah-wilayah tersebut kebanyakan ialah bangunan pertokoan dan kantor.
"Daerah dengan kepadatan tertinggi selanjutnya berada pada kawasan Lebak Siliwangi yang memiliki 4 titik lokasi kawasan kolonial. Wilayah Cikawao, Cihapit. dan Pasteur menduduki peringkat selanjutnya dalam jumlah kepadatan bangunan kolonial dengan memiliki 3 titik pada masing-masing lokasi. Pembangunan Kota Bandung pada masa kolonial terpusat pada daerah tengah kota, kemudian terfokus ke arah utara kota," tulis beberapa kutipan dalam jurnal tersebut.
Hal ini selaras dengan keterangan yang diberikan Tin bahwa semasa kecilnya, bahwa belum banyak rumah dibangun di daerah Malabarweg (jalan Malabar), bahkan baru sedikit jalan yang dibangun.
Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul Wajah Bandoeng Tempo Dulu, menuliskan banyak rumah indah didirikan tersebar di Kota Bandung. Salah satu contoh perumahan yang dibangun Belanda, ada di daerah Andir (Jalan Pajajaran dan sekitarnya) yang sekarang berupa permukiman dengan ciri jalan nama wayang.
"Pada masa lalu merupakan daerah perumahan modern yang pertama dibangun di Kota Bandung. Semacam perumahan 'real estate' masa kini yang dulu disebut 'Fokkerhuis'. Untuk memiliki rumah di daerah itu, orang bisa mencicil dalam beberapa kali angsuran. Rumah ukuran kecil seharga 2.000-2.500 gulden, sedangkan rumah besar tepi jalan raya harganya sampai 10.000 gulden ke atas. Buat ukuran jaman itu, harga rumah-rumah itu terhitung mahal," tulis Haryoto.
![]() |
Selain di daerah Andir, pihak swasta juga membangun kompleks permukiman modern di daerah Kosambi, meliputi wilayah dengan jalan-jalan bernama gunung. Seperti Malabar, Tampomas, Halimun, dan sekitarnya. Nah, kemungkinan besar salah satunya termasuk rumah milik Tin dan Penny.
"Rumah-rumah yang dibangun oleh Meneer Hartman ini, mengambil bentuk arsitektur gaya 'Romantik' Belanda yang lagi jadi selera orang kala itu," tulis Haryoto.
Sedangkan model perumahan modern bertingkat, dibangun oleh Meneer D. H. Ton di daerah Jl Riau, sekitar Oranje Plein (Taman Pramuka sekarang). Ada pula perumahan buat pegawai kecil negeri atau kleine luijden, dibangun di daerah sekitar Cihapit.
Di sana, jadi contoh lingkungan permukiman yang sehat di Bandung pada masa lalu. Daerah itu kebanyakan dihuni oleh golongan menengah bangsa pribumi maupun Belanda.
Sementara hunian masyarakat kecil pribumi, Meneer Van der Welle membangun rumah-rumah petak mungil dari bahan bilik bambu di Daerah Karapitan, dengan konstruksi dan penataan yang apik dan necis. Perkampungan baru 'Nieuwe Wijk' itu dibangun pada awal zaman Parijs van Java tahun 1920-1925.
Permukiman, gedung perkantoran, toko, hingga pasar, semua dibangun dengan apik oleh Belanda, terutama setelah adanya pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandoeng. Hal ini bermula dari suatu studi-penyelidikan tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa oleh H.F. Rillema, seorang Ahli Kesehatan Belanda kelahiran Groningen Holland yang bertugas di Semarang.
"Umumnya kota-kota pelabuhan udaranya panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah. Hawa tidak nyaman, mengakibatkan orang cepat lelah, semangat kerja menurun. Tak terkecuali Batavia, kota pelabuhan itu kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda," tulis Meneer H.F. Tillema dikutip oleh Haryoto Kunto.
Maka muncul pemikiran bahwa Bandung layak disebut sebagai tempat permukiman yang cantik dan paling sehat. Letak ketinggian kota lebih kurang 730 meter di atas permukaan laut, menyebabkan kotanya memiliki iklim udara yang segar dan nyaman.
Tetapi sayang, memasuki tahun 1929 depresi besar melanda dunia dan berdampak pada perekonomian. Proyek pemindahan ibu kota pun dihentikan. Selain itu Peran Dunia II meletus, membuat pemindahan Ibu Kota Hindia Belanda terlupakan.
Belum lagi masuknya Jepang yang mendesak Belanda keluar dari Indonesia. Meskipun Bandung tak pernah jadi ibu kota Indonesia, setidaknya jejak sejarah pembangunan itu kini menyisakan wajah manis bagi Kota Bandung dengan segala keindahan bangunannya.
Simak Video "Video: Kebakaran Sukahaji Bandung, Pedagang Kayu Ada yang Rugi Sampai Rp 150 Juta"
[Gambas:Video 20detik]
(aau/mso)