Dari beberapa keterangan yang beredar di jagat maya, Perses Sumedang ini konon lahir pada era 1950-an. Cukup sulit detikJabar menemukan dokumen pasti terkait cikal bakal lahirnya klub sepak bola asal Sumedang ini. Meski demikian pada surat kabar-surat kabar milik Hindia Belanda kala itu, nama Perses Sumedang beberapa kali tercatat dalam pemberitaanya. Salah satunya pada surat kabar Indische Courant edisi 21 Maret 1953.
Dalam surat kabar itu disebutkan bahwa 8 asosiasi sepak bola di Jawa Barat menggelar pertemuan untuk mengeluarkan sebuah resolusi kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Resolusi dikeluarkan untuk meminta PSSI meninjau kembali akan keputusan dalam kongresnya terkait pembagian zona pertandingan.
Kedelapan asosiasi sepak bola yang menandatangani resolusi tersebut, yakni Persidja (Jakarta), Persib (Bandung), Persikas (Subang), Persika (Krawang), Persik (Kuningan), Perses (Sumedang), Persigar (Garut) dan Persitas (Tasikmalaja). Dari sana dapat diketahui bahwa Perses Sumedang pada era itu merupakan salah satu asosiasi atau perhimpunan sepak bola di Jawa Barat yang bernaung kepada PSSI.
Hal tersebut senada dengan yang diutarakan oleh CEO Perses Sumedang yang kini dijabat oleh Agus Muslim. Ia menjelaskan Perses Sumedang pada awalnya merupakan sebuah perserikatan atau asosiasi sepak bola Sumedang di bawah naungan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) untuk di tingkat nasionalnya.
"Pada masa perserikatan, Perses ini merupakan lembaga resmi pemerintah atau asosiasi yang beranggotakan klub-klub sepak bola yang ada di Sumedang, induknya PSSI," ungkap Agus kepada detikJabar belum lama ini.
Kemudian saat memasuki fase sepak bola semi profesional, Perses Sumedang sendiri masih merupakan salah satu perserikatan atau asosiasi sepak bola Sumedang di bawah naungan PSSI. Pada fase ini, ada dua kompetisi yakni kompetisi PSSI dan kompetisi Liga Sepak bola Utama (Galatama). "Jadi untuk kejuaraan sepak bola amatir itu diselenggarakan oleh PSSI dan Perses Sumedang sebagai salah satu perserikatan yang turut menggulirkan kompetisi PSSI," terangnya.
"Sementara untuk kompetisi profesional itu ada namanya lagi, yakni Galatama dan hanya yang berbasis klub-lah yang bisa ikut dalam kompetisi Galatama," Agus menambahkan.
Pada sekitar tahun 1994, PSSI menggabungkan dua kompetisi yang ada saat itu, yakni kompetisi berbasis Perserikatan (amatir) dan kompetisi berbasis klub/profesional atau Liga Sepak Bola Utama (Galatama) menjadi Liga Indonesia. Singkat cerita, dalam perjalanannya setelah berganti-ganti nama untuk kompetisi profesional tingkat teratas dari mulai Liga Super Indonesia (ISL), lalu Liga Prima Indonesia (IPL), kini namanya menjadi Liga 1 Indonesia yang diselenggarakan oleh PT Liga Indonesia Baru.
Pada era sepak bola profesional, sebuah klub sepak bola harus bernaung pada sebuah perusahaan. Sebut saja seperti Persib Bandung yang bernaung dibawah PT Persib Bandung Bermartabat. Namun, khusus di Liga 3 Seri 1, sebuah klub masih bersifat semi profesional. Seperti halnya Perses Sumedang yang saat itu pernah bernaung pada sebuah yayasan.
Agus menyebut sebelum tahun 2017, Perses Sumedang bernaung pada sebuah Yayasan bernama Tembong Agung. Saat itu, Ketua yayasannya dipegang oleh Teteng dan manajernya adalah Jafar Sidik (legenda Persib Bandung era 80-an)
Lalu pada 2017, lanjut Agus, ia sendiri yang dipercaya atau diserahi untuk melanjutkan pengelolaan Perses Sumedang dari para pengurus yayasan sebelumnya. "Lalu pada sekitar tahun 2017, para pengurus Yayasan Tembong Agung yang menaungi Perses Sumedang beserta pengelola atau manajer menyerahkan kepada saya untuk pengelolaannya," paparnya.
Agus yang telah dipercayakan untuk mengelola Perses Sumedang, pada 2021 telah mengubah Yayasan Tembong Agung menjadi sebuah perusahaan bernama CV Dangiang Sumedang."Tapi untuk status Perses sejauh ini masih semi profesional jadi para pemain Perses boleh tidak dikontrak dan tidak boleh ada pemain asing," ujarnya.
Agus menjelaskan, pasca perubahan dari yayasan ke bentuk CV Perusahaan, maka sejak saat itu pula Perses Sumedang telah berdiri sendiri dan tidak diperbolehkan menerima anggaran dari APBD Sumedang. "Kalau dulu saat berbentuk yayasan boleh menerima hibah dari Pemkab Sumedang kalau sekarang tidak boleh," terangnya.
Adapun sumber pendanaan Perses Sumedang, sambung Agus, berasal dari para pecinta sepak bola asal Sumedang berikut dari kocek pribadinya. "Jujur saja, sumber dana Perses Sumedang saat ini dari mereka yang gila bola di Sumedang termasuk dari kocek saya pribadi saya," terangnya.
"Kalau saat kompetisi bergulir, itu ada rekan saya tiga orang pengusaha yang kerap membantu, tapi yang berat itu di sehari-harinya," Agus menambahkan.
Agus menyebut, sedikitnya dibutuhkan lebih dari Rp 1 milyar untuk mendanai usia 17 dan Liga 3 bagi Perses Sumedang saat kompetisi bergulir. "Ya bayangkan saja sekali main semisal dalam kompetisi, itu 30 orang butuh hotel dan ada standar gajinya untuk pemain saat kompetisi digelar," terangnya.
"Meski Kondisi keuangan terseok-seok tapi Perses harus tetap berjalan, kalau menjual mobil dan menjual ini itu sudah biasa, habis mau siapa lagi," ungkapnya.
Perses Sumedang sendiri dihuni oleh 12 orang tim Official dan 22 orang pemain. Saat ini, Perses Sumedang masih konsisten berada di 10 besar pada Liga 3 Seri 1 Jawa Barat. Agus menambahkan, dirinya berencana ingin mengubah dari CV menjadi PT untuk menaungi Perses Sumedang.
"Saya ingin Perses ini jadi PT dan ini tentu ada political will terkait rencana ini, rencana saya pemegang sahamnya adalah kepala desa dan klub-klub yang ada di Sumedang, tapi cita-cita yang utama dengan adanya Perses ini adalah para pemain Sumedang ini jangan sampai kehilangan jalan saat berkeinginan menjadi pemain profesional," katanya. (iqk/iqk)