Hukum Tak Bayar Hutang Puasa Ramadhan Bertahun-Tahun dan Ketentuannya

Hukum Tak Bayar Hutang Puasa Ramadhan Bertahun-Tahun dan Ketentuannya

Nur Khansa Ranawati - detikJabar
Senin, 17 Feb 2025 19:05 WIB
ilustrasi puasa
Ilustrasi Tak Bayar Utang Puasa Raadhan Bertahun-tahun (Foto: Getty Images/iStockphoto/gahsoon)
Bandung -

Tidak Bayar Hutang Puasa Bertahun-tahun, Bagaimana Hukumnya? Simak Penjelasan Ulama 4 Mazhab

Puasa di bulan Ramadan adalah wajib hukumnya bagi seluruh umat Muslim, kecuali bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan puasa atau memilki udzur syar'i. Untuk orang dengan kondisi tertentu seperti sakit, musafir, wanita haid, nifas, hamil atau menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan kewajiban menggantinya di lain waktu (qadha).

Hutang puasa digambarkan Nabi Muhammad S.A.W dengan hutang uang yang wajib dibayar. Bahkan jika ia meninggal maka walinya berkewajiban menggantikannya. Beliau bersabda:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari Ibn 'Abbas Ra. datang seorang laki-laki kepada Nabi S.A.W dan berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah wafat dan ia punya hutang puasa satu bulan maka apakah aku harus membayarnya? Nabi Saw. bersabda: Ya,
hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi". (HR. al-Bukhari).

Namun, ada kalanya seseorang tidak melaksanakan qadha atau membayar hutang puasa tepat waktu sebelum Ramadan berikutnya tiba. Bahkan, hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Beberapa kali bulan Ramadan hadir, namun belum ada satu hari pun puasa pengganti yang dilakukan.

ADVERTISEMENT

Bila keadaannya demikian, bagaimana hukumnya? apakah orang yang tidak membayar hutang puasa bertahun-tahun wajib membayarnya sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan? Untuk menjawab hal tersebut, detikJabar rangkumkan ulasan terkait hukum meninggalkan qadha puasa dari pandangan sejumlah ulama.

Ramadan Kareem photography, Lantern with crescent moon shape on the beach with sunset sky, 2024 Eid Mubarak  greeting backgroundIlustrasi Ramadhan Foto: Getty Images/sarath maroli

Hukum Tidak Bayar Hutang Puasa hingga datang Ramadhan

Membayar hutang puasa atau qadha adalah hal yang wajib untuk dilakukan. Menurut Dr. Hairul Hudaya, M.Ag. dari buku Fiqh Puasa, Lailatul Qadar dan Zakat Fitrah (2022), seseorang yang tidak melakukan qadha puasa hingga Ramadan berikutnya datang padahal tidak memiliki udzur syar'i, maka ia akan tetap memikul kewajiban untuk melaksanakan puasa di hari lain setelah Ramadan usai.

Tak hanya qadha, golongan ini juga wajib untuk membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan dan belum terbayar di tahun-tahun sebelumnya. Hukum ini akan terus berlaku di tahun-tahun berikutnya secara akumulatif bila orang tersebut masih belum melakukan qadha sesuai aturan.

Adapun ukuran fidyah yang harus dibayar adalah sebesar satu mud untuk satu hari puasa yang ditinggalkan atau setara dengan 675 gram makanan (dalam konteks Indonesia adalah beras).

Tidak Ingat Jumlah Hutang Puasa

Bagaimana bila jumlah hutang puasa tersebut sudah tidak dapat dihitung jumlahnya karena sudah berlangsung selama bertahun-tahun? Bila kasusnya seperti ini, maka jumlah hari puasa yang harus dihanti dapat dihitung berdasarkan perkiraan.

Misanya, tidak membayar hutang puasa Ramadan yang disebabkan oleh haid. Maka, seseorang bisa menghitung rata-rata lamanya haid yang ia alami dalam satu bulan, lalu dikalikan dengan jumlah bulan Ramadan yang sudah terlewati tanpa qadha.

Bila sudah pernah melakukan qadha puasa selama beberapa hari, maka total jumlah hutang puasa tersebut dapat dikurangi dengan jumlah hari yang telah di-qadha. Selebihnya, jangan lupa untuk meminta ampunan kepada Allah S.W.T karena telah lalai menunaikan kewajiban membayar hutang puasa.

Hukum Tidak Bayar Hutang Puasa Berdasarkan Ulama 4 Mazhab

Maharati Marfuah, Lc dalam buku Qadha dan Fidyah Puasa (2020) menyatakan bahwa para ulama dari seluruh mazhab sepakat bahwa masa yang telah ditetapkan untuk mengqadha' puasa yang terlewat adalah setelah habisnya bulan Ramadan hingga bertemu lagi Ramadan tahun berikutnya.

Meski demikian, masih ada perbedaan pandangan terkait aturan melunasi hutang puasa yang belum dibayarkan hingga bertemu Ramadan berikutnya. Ada yang menentukan harus membayar fidyah disertai qadha, ada juga yang hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah.

1. Pandangan Mazhab Hanafi

Az-Zaila'i salah satu ulama dari kalangan Al-Hanafiyah. Di dalam kitabnya Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, beliau menuliskan sebagai
berikut :

"Jika seseorang memiliki tanggungan puasa yang belum diqadha sampai datang bulan Ramadan berikutnya, maka dia berpuasa untuk Ramadan kedua. Karena memang waktu tersebut waktu untuk puasa yang kedua. Dan tidak diterima puasa selainya (puasa kedua). Kemudian setelah itu baru mengqadha puasa Ramadan silam. Karena waktu tersebut adalah waktu qadha. Dan tidak wajib membayar fidyah".

Sehingga, dapat disimpulkan jika ia tidak mewajibkan seseorang untuk membayar fidyah untuk melunasi hutang puasa yang telah berlalu. Ia perlu melakuka puasa wajib Ramadan diikuti dengan qadha di bulan berikutnya.

Senada dengan tersebut, Al-Kasani yang juga termasuk ulama besar di kalangan mazhab Hanafi, di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' menuliskan sebagai berikut :

"Ketika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadan berikutnya maka tidak wajib fidyah".

2. Mazhab Maliki

Salah satu ulama rujukan Mazhab Maliki, Ibnu Abdil Barr berkata dalam kitabnya:

"Dan seseorang yang mempunyai kewajiban puasa Ramadan kemudian tidak puasa dan mengakhirkan qadha sampai masuk Ramadan berikutnya sedangkan ia mampu untuk menqadhanya (sebelum datang Ramadhan kedua), maka jika dia tidak puasa pada Ramadhan tersebut wajib baginya menqadha hari-hari yang ditinggalkanya dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan sebesar satu mud, dengan ukuran mud Nabi S.A.W".

Berbeda dengan mazhab Hanafi, beliau mewajibkan seseorang untuk membayar fidyah ketika tidak ada udzur dalam penundaan qadha puasanya.

3. Mazhab Syafi'i

An-Nawawi yang merupakan mujtahid murajjih dalam mazhab Syafi'i menuliskan dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut:

"Ketika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadan berikutnya tanpa udzur, maka ia berdosa. Dan wajib baginya berpuasa untuk Ramadan yang kedua, dan setelah itu baru menqadha untuk Ramadan yang telah lalu. Dan juga wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadan kedua. Yaitu satu mud makanan beserta dengan qadha".

4. Mazhab Hambali

Senada dengan mazhab Syafi'i. Al-Mardawi dari kalangan mazhab Hambali mengatakan di dalam kitabnya sebagai berikut:

"Dan tidak diperbolehkan menunda qadha puasa Ramadhan sampai Ramadhan beikutnya. Dan ini yang di-nashkan. Dan tidak ada perbedaan disini. Dan ketika ia melakukanya maka wajib baginya qadha dan memberi makan orang miskin. Untuk setiap harinya satu mud. Dan ini adalah pendapat
madzhab Hambali tanpa ada keraguan".

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum meninggalkan qadha puasa bertahun-tahun wajib diganti dengan qadha puasa kembali bagi mereka yang tidak memiliki udzur syar'i.

Bagi seluruh mazhab kecuali Hanafi, qadha puasa bagi yang tidak udzur adalah berupa berpuasa kembali ditambah dengan pembayaran fidyah. Sementara mazhab Hanafi tidak mewajibkan fidyah, hanya kewajiban untuk mengganti puasa dengan berpuasa sesuai hari yang ditiinggalkan.

Semoga membantu!




(tya/tey)


Hide Ads