Di bagian depan pintu masuk Keraton Kasepuhan, terdapat pedagang barang antik yang sudah berjualan lebih dari 5 tahun. Ragam barang antik dijual di lapak tersebut.
Pemilik lapak barang antik itu adalah Hendi. Meski baru 5 tahun berjualan barang antik, dia ternyata sudah sejak kecil cinta dengan barang antik.
"Dari kecil saya sudah senang batu cincin. Bagus si warna-warnanya, sampai jadi hobi. Saya seneng sendiri aja kalau jualan tuh, setiap hari ada aja yang beli," tutur Hendi penjual barang antik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum berjualan dengan cara melapak, Hendi terlebih dulu berjualan batu-batu akik dan cincin secara freelance. Ia juga merupakan seniman pembuat lukis kaca selama 10 tahun. Tetapi, karena dirasa kurang menghasilkan dan waktu yang dihabiskan cukup banyak, ia berpindah jadi jualan barang antik.
Ada banyak barang antik yang dijual oleh Hendi, dari mulai gelang, cincin, kalung, batu akik, kepala kijang, tongkat, ukiran, patung, ikat kepala, wayang dan lukis kaca. Untuk harganya bervariasi dari mulai puluhan ribu hingga jutaan Rupiah.
"Ada yang 3 atau 4 juta juga ada, kaya ukiran. Kalau yang murah kaya aksesoris gelang-gelangan, 10 ribuan paling," ungkap Hendi.
Untuk barang jadul atau barang pusaka, Hendi dapatkan dari orang yang ingin menjual barang pusaka. Barang pusaka yang didapat Hendi, biasanya memiliki cerita dan keunikannya tersendiri, apalagi yang sudah berusia ratusan tahun.
"Pasti ada, tergantung barangnya. Misalkan kita dapat dari tempat-tempat peninggalan orang tuanya dulu, sejarahnya gimana, mereka kan menceritakan," tutur Hendi.
Hendi mengatakan, untuk masalah cerita mistik tentang suatu benda memang ada. Tapi semuanya balik lagi, tergantung sudut pandang. "Kalau secara sejarahkan memang ada, hal-hal mistisnya lah. Zaman dulu kan, mungkin kalau pembuatan sesuatu tidak sembarangan, ada doa-doa khusus. Intinya sih doa-doa yang baik," tutur Hendi.
Menurut Hendi, ada banyak alasan kenapa seseorang ingin menjual barang antik peninggalan leluhurnya, seperti karena tidak ada yang merawat, hingga ada salah satu keluarga yang menginginkan barang tersebut dijual.
"Kadang ada yang tidak terawat takut lama-lama rusak, disimpan di gudang, atau anak cucunya tidak senang, jadi saya tampung," tutur Hendi.
Jika mendapatkan barang yang tidak terawat, Hendi membersihkannya terlebih dahulu sebelum dijual.
"Kaya tongkat, ukiran, keris pusaka kalau kotor berkarat kan pasti dicuci dulu, kalau dibiarkan berkarat nanti akan hancur besinya. Barang yang tidak dirawat meski ratusan tahun, bisa hancur nantinya," tutur Hendi.
Tidak seperti barang lain yang dijual di pasaran, menurut Hendi, untuk barang antik peninggalan leluhur terkadang materi saja tidak bisa dijadikan tolak ukur. "Jadi barometernya itu bukan finansial. Cocok-cocokan saja, kalau jodoh sama orang itu, dengan harga yang terjangkau bisa didapat. Tidak semua orang, yang punya uang banyak, bisa beli. Kadang nggak dikasih sama orang yang punya. Kadang dikasih tapi nggak mau," tutur Hendi.
Hendi menceritakan, pengalamanya dalam berburu benda antik. Menurutnya, ketika sudah menemukan barang yang menurutnya menarik lalu cocok, ia rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk membeli barang tersebut. "Kadang kalau saya suka, dananya pas pasan, saya kasih semua itu mahal. Karena tidak sampai tersisa di dompet saya," tutur Hendi.
Menurut Hendi, dirinya tidak hanya sekedar berjualan tapi juga mengedukasi kepada orang tentang barang-barang antik yang bisa memiliki nilai jual. "Biasanya kan barang-barang dulu dianggap barang bekas tidak terexpose, barang usang, nggak memiliki nilai jual. Tapi disisi lain kan punya nilai sejarah atau story lah. Setiap penduduk pasti punya peninggalan orang tuanya zaman dulu, apapun itu," tutur Hendi.
Ia juga membeberkan, tentang perbedaan barang antik yang dibuat era dulu dengan barang yang antik yang dibuat era sekarang. Menurutnya, barang antik yang dibuat era dulu terlihat lebih detail, karena pola pikir pembuatnya mengutamakan sisi idealisme keindahan bukan materi. "Sekarang kan alat pembuatnya udah canggih, dulu mah masih manual tapi hasilnya sempurna," tutur Hendi.
Ketika sedang ramai, sebelum pandemi COVID-19, dalam sehari lapak barang antik milik Hendi, bisa mendapatkan omset sekitar minimal 500.000 - 1.000.000 rupiah. Namun, setelah pandemi, dalam sehari omset yang didapatkan hanya dibawah Rp 500.000. Meski begitu Hendi bersyukur masih bisa menghidupi keluarga dengan ketiga anaknya.
Pembeli yang datang ke lapak Hendi, cukup beragam, ia menceritakan, pernah ada pembeli yang mencari barang antik kemana-mana, tapi malah menemukan barangnya disini. Meski begitu Hendi tidak menjual barangnya dengan harga yang mahal. "Dicari kemana-mana tidak ada, tapi disini ada. Yah begitu jodohnya. Berani buat jual mahal, tapi sayanya juga tidak aji mumpung, relatif aja," kata Hendi.
Tidak hanya dari Cirebon, pembeli barang antik milik Hendi, banyak yang berasal dari luar kota bahkan luar negeri seperti Belanda, Jepang dan Malaysia. "Luar kota dari Jember. Bahkan Belanda juga ada, mereka suka nyari wayang kulit buat koleksi, beli lima biji. Kalau orang Jepang beli lukisan kaca," tutur Hendi.
Bagi yang berminat membeli barang antik, dapat mengunjungi lapak barang antik Hendi, terletak di depan pintu masuk Keraton Kasepuhan, di Jalan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat.
(mso/mso)