Kata Ahli Pidana soal Gugurnya Dakwaan Pemerkosa Anak di Sukabumi

Kata Ahli Pidana soal Gugurnya Dakwaan Pemerkosa Anak di Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Kamis, 03 Nov 2022 10:00 WIB
Palu Hakim. Ari Saputra. Ilustrasi
Ilustrasi persidangan (Foto: Ari Saputra)
Sukabumi - H (33) terdakwa pemerkosa anak di Kabupaten Sukabumi bebas setelah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) gugur melalui eksepsi penasihat hukum yang berbuah pada putusan sela yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Cibadak.

Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang Youngky Fernando memberikan pendapat. Kepada detikJabar, ia sempat menanyakan soal posisi tanggal yang kemudian berbuah putusan sela tersebut.

"Apakah (posisi tanggal) surat dakwaannya yang pada penutup terakhir halaman itu biasa diberikan tanggal bulan dan tahun, ataukah di dalam isi dakwaan itu tidak memberikan tanggal dan tempo perkara (dalam dakwaan). Yang mana yang benar," kata Youngky kepada detikJabar, Kamis (3/11/2022).

"Surat dakwaan dalam poin terakhir? Itu berarti masuk dalam pengertian di dalam pasal 143 ayat 2 huruf A nah, jadi dalam ketentuan pasal 143 ayat 2 huruf A KUHAP, yang dimaksud oleh undang-undang nomor 8 tahun 1981 itu adalah tentang syarat formil suatu surat dakwaan," sambung Youngky usai mendapat penjelasan soal posisi tanggal yang dimaksud.

Youngky menjelaskan, butir dalam KUHAP tersebut memang mengatur salah satunya syarat materil. "Pertanyaan hukum nya, apakah bila tidak terpenuhi syarat formil tersebut atau tidak lengkap atau tidak sempurna dapatkah itu membatalkan surat dakwaan, kan begitu. Jawaban hukumnya berdasarkan ketentuan di dalam pasal 143 ayat 3 dikatakan surat dakwaan batal demi hukum bilamana tidak memenuhi syarat materil yang terdapat di dalam ayat 2 huruf B. Nah apa itu syarat materil, adalah tentang harus di urai terperinci mungkin," jelasnya.

Ketika syarat itu tidak terpenuhi, Youngky menjelaskan, akan mengakibatkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum. Ia juga merinci setiap pasal per pasal yang ada di dalam KUHAP tersebut. "Itu apabila tidak dipenuhi berakibat hukum, surat dakwaan itu batal demi hukum. Nah itu bahasa hukumnya terdapat didalam ayat 3 pada pasal 143 tersebut ayat 3 begitu. Lalu bagaimana haknya, yang berkaitan dengan eksepsi, kan begitu eksepsi seorang terdakwa yang berkaitan dengan surat dakwaan itu diatur dalam pasal 156," ungkap Youngky.

Menurutnya, dalam pasal 156, eksepsi itu ada dua jenis. Satu eksepsi tentang kewenangan mengadili, pengadilan pidana. Apakah perkara masuk ke dalam ranah kewenangan peradilan pidana ataukah peradilan luar pidana. Ia mencontohkan peradilan tata usaha negara atau peradilan lainnya.

"Itu namanya kompetensi atau kewenangan absolut dan hal itu harus diputus pada putusan sela. Ada lagi satu lagi yakni eksepsi lagi yang berkaitan dengan kewenangan relatif yaitu apabila wilayah makanya tadi harus disebutkan lokasi, wilayah, waktu, tempat kejadian perkara harus disebutkan tadi di uraikan, itu bagian daripada syarat materil," paparnya.

Menurutnya ketika hal itu tidak terpenuhi maka dalam eksepsi itu disebut kewenangan relatif, kewenangan relatif ini sebelum di putus di putusan sela. "Sebetulnya kewenangan ketua pengadilan juga punya, ketika kewenangan itu diberikan oleh hukum oleh undang-undang kepada si ketua pengadilan, ketua pengadilan begitu menerima berkas dari jaksa beliau harus memeriksa, apakah dakwaan yang diserahkan ke pengadilan ini masuk ke wilayah hukumnya, apakah termasuk wilayah hukum di Bogor, atau di Cianjur, itu kewenangan relatif yaitu kewenangan wilayah dimana peradilan itu berwenang atau tidak mengadili atau pradilan lain wilayahnya, terkait dengan apa, kaitan tempat kejadian perkara," beber dia.

Nanti dikatakan Youngky, eksepsi putusannya adalah surat dakwaan tidak dapat diterima, itu apakah dilakukan pada putusan sela atau dilakukan pada putusan akhir itu sifatnya teknis.

Hakim Dinilai Keliru

Terkait kondisi putusan sela oleh majelis hakim yang membuahkan amar putusan yang salah satunya berisi poin bebasnya terdakwa pemerkosaan anak di bawah umur dari tahanan, Youngky berpendapat hakim keliru menafsirkan tentang eksepsi.

"Saya pastikan ini bukan soal bijak atau tidak bijak (hakim dalam putusan) saya pastikan ini soal kekeliruan di dalam penerapan hukum oleh hakim. Hakim keliru menafsirkan tentang eksepsi yang dimaksud dalam kewenangan majelis, kewenangan relatif ataupun absolut ataupun persyaratan yang dimaksud dengan syarat formil yang dimaksud itu skala keliru, yang masuk dalam kompetensi untuk mengabulkan eksepsi adalah perihal yang berkaitan dengan syarat materil bukan syarat formil," papar Youngky.

Youngky juga berpendapat seharusnya pihak kejaksaan dalam hal ini tidak perlu mengubah dakwaan, namun mengajukan upaya hukum ke pengadilan tinggi setempat.

"Saya pastikan itu keliru dan penerapan hukumnya keliru dan jaksa disini harusnya tidak perlu mengubah lagi surat dakwaan tersebut dia cukup mengajukan upaya hukum itu lewat upaya hukum ke pengadilan tinggi setempat, sehingga yang bersangkutan terdakwa tidak perlu di lepas. Mengajukan upaya hukum nanti 14 hari lamanya pengadilan tinggi menetapkan apakah eksepsi tersebut dapat diterima atau tidak diterima nanti pengadilan tinggi yang menetapkan itu," kata Youngky.

"Jaksa harusnya mengajukan banding bukan meminta kembali surat dakwaan itu sehingga terdakwa sekarang jadi lepas, harusnya tadi sehingga tidak lepas," sambungnya.

Keputusan jaksa merubah dakwaan setelah keputusan sela yang salah satu amar putusannya membebaskan terdakwa dari tahanan kemudian membuat terdakwa hilang akhirnya berimbas pada persidangan in absentia. "Bisa (banding usai putusan sela), karena itu ada ruangnya memang, di dalam pasal 156 jaksa dapat melakukan upaya hukum terhadap pembatalan surat dakwaan maupun surat dakwaan yang tidak dapat diterima. Bukan harus mengubah surat dakwaan, ini menimbulkan akhirnya terdakwa lepas, sehingga ini menjadi peradilan inabstentia tanpa kehadiran terdakwa," katanya. (sya/iqk)



Hide Ads