Meski berada di wilayah administratif Jawa Barat yang identik dengan bahasa Sunda, masyarakat Indramayu justru dominan menggunakan bahasa Jawa. Mengapa bisa demikian? Sejarah panjang pengaruh kerajaan besar seperti Majapahit, Demak, hingga Mataram menjadi jawabannya.
Kabupaten Indramayu secara administratif termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Namun, berbeda dengan sebagian besar daerah Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda, masyarakat Indramayu justru dominan menggunakan bahasa Jawa dengan dialek khas lokal, yakni dialek Dermayon. Fenomena ini tak lepas dari pengaruh sejarah panjang dan migrasi budaya sejak ratusan tahun silam.
Budayawan sekaligus Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu (LBSD) Supali Kasim mengungkapkan bahwa dominasi bahasa Jawa di Indramayu berkaitan erat dengan pengaruh Kerajaan Mataram yang kuat pada masa lampau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indramayu pernah mengalami fase penggunaan bahasa Jawa Kuno," kata Supali dalam acara Riksa Budaya Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat di Indramayu, Senin (2/12/2024). Pernyataan ini dikutip dari kanal YouTube Humas Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dari Pelabuhan Cimanuk ke Pengaruh Mataram
Dalam pemaparannya, Supali menjelaskan bahwa Indramayu dulunya dikenal sebagai wilayah pelabuhan penting, yakni Pelabuhan Cimanuk. Pelabuhan ini menjadi titik temu berbagai kelompok masyarakat dan budaya. Catatan sejarah dari Tomé Pirés, seorang pengembara sekaligus apoteker asal Portugis yang singgah di Cimanuk antara tahun 1512-1515, mencatat adanya komunitas penutur bahasa Sunda di sebelah barat pelabuhan dan komunitas penutur bahasa Jawa di bagian timur.
"Ini menjadi bukti awal bahwa wilayah Indramayu sudah mengenal percampuran dua bahasa sejak dulu," ungkap Supali di hadapan ratusan pelajar SMA dan SMK dalam sesi dialog budaya bertajuk Penguatan Nilai Budaya Penggunaan Bahasa Daerah Dermayu.
Bahasa Jawa kemudian semakin mengakar di masyarakat Indramayu seiring pengaruh Kerajaan Majapahit dan kemudian Kerajaan Demak. Pengaruh terbesar terjadi saat Kerajaan Mataram berkuasa. Pada 1678 Masehi, Amangkurat II mengangkat Wiralodra sebagai bupati di Indramayu, sekaligus memperkuat struktur budaya dan bahasa di wilayah itu.
"Pada masa Mataram, bahasa Jawa Ngoko-Kromo mulai ditetapkan. Di Indramayu, struktur bahasa ini diadopsi menjadi Bagongan dan Bebasan," jelas Supali.
Riset Bahasa: Indramayu Bagian dari Jawa
Supali bersama tim dari LBSD melakukan penelitian linguistik menggunakan metode Morris Swadesh, yakni metode perbandingan 200 kosakata dasar antar daerah. Dalam studi ini, kosakata penutur bahasa di Indramayu dibandingkan dengan penutur bahasa Jawa di Yogyakarta.
"Hasil riset menunjukkan tingkat perbedaan hanya 28,5 persen. Artinya, secara linguistik, bahasa yang dituturkan masyarakat Indramayu adalah bahasa Jawa dengan dialek khas Indramayu," terang Supali.
Menurutnya, jika perbedaan kosakata mencapai 80 persen, barulah dapat dikatakan sebagai bahasa yang berbeda. "Namun dalam praktiknya, karena kebanggaan terhadap identitas lokal, masyarakat menyebutnya sebagai Bahasa Indramayu," tambahnya.
Warisan Leluhur: Dari Kuwu hingga Bagongan
Riset LBSD juga menemukan sejumlah kosakata khas yang masih digunakan di Indramayu dan memiliki akar sejarah panjang. Salah satunya adalah kata 'kuwu' untuk menyebut kepala desa. Kata ini sudah digunakan sejak masa Kerajaan Singasari dan kini masih lestari di Indramayu, meski telah hilang di sebagian wilayah Jawa Tengah.
Selain itu, ditemukan pula kosakata serapan dari bahasa Sunda seperti 'meureun' yang dalam dialek lokal sering diucapkan 'murun'.
Warisan ini turut dikisahkan dalam naskah Babad Dermayu, yang menceritakan perjalanan Raden Wiralodra membuka hutan Cimanuk atas petunjuk Hyang Sukma. Perjalanan panjang ini berujung pada berdirinya wilayah Indramayu.
Dalam acara Riksa Budaya Jawa Barat, Supali bersama budayawan Sunda, Aat Soeratin, juga menguji kemampuan para pelajar dalam berbahasa Dermayu. Para peserta diminta menerjemahkan kalimat dari bahasa Bagongan ke Bebasan, dan sebaliknya.
"Kita wis mangan," kata Supali.
"Kula sampun dahar," kata seorang pelajar.
"Bapa turu kita adus," kata Supali.
"Bapak tilem kula siram," kata pelajar.
(yum/sud)