Kisah Mak Maya Penjaga Tradisi Tenun Gadod di Majalengka

Kisah Mak Maya Penjaga Tradisi Tenun Gadod di Majalengka

Erick Disy Darmawan - detikJabar
Senin, 03 Mar 2025 09:00 WIB
Emak Maya dan Tenun Gadod di Majalengka
Emak Maya dan Tenun Gadod di Majalengka (Foto: Erick Disy Darmawan/detikJabar)
Majalengka -

Di pelosok Kabupaten Majalengka, tersembunyi sebuah desa yang indah dan asri. Desa tersebut adalah Nunukbaru, yang merupakan bagian dari Kecamatan Maja.

Terletak di tengah-tengah perbukitan, desa ini masih memegang erat tradisi leluhurnya, yakni tenun gadod. Menurut cerita yang diwariskan turun-temurun, tenun ini telah ada sejak zaman Kerajaan Telaga Mangung,

Tenun gadod sendiri dibuat dari kapas honje. Meskipun berbahan dasar kapas, kain ini memiliki kekuatan yang luar biasa, sesuai dengan nama gadod itu sendiri, yang berarti kuat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tenun gadod hingga kini masih lestari di desa tersebut. Salah seorang penjaga tradisi tenun gadod adalah Emak Maya.

Perempuan berusia 85 tahun itu, hingga kini masih setia dengan benang dan tenunnya. Sejak usia 15 tahun, ia mulai belajar menenun dari ibunya.

ADVERTISEMENT

Berkat kesetiaannya terhadap tenun gadod, Emak Maya sudah dianggap sebagai maestro tenun gadod. "Dari umur 15 tahun, saya diajarin (nenun) sama ibu, atau orang tua emak. Iya, nenun gadod turun-temurun di keluarga emak mah," tutur Emak Maya saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

Dari tangan ibunya, ia mewarisi keahlian tersebut, dan hingga kini, Emak Maya terus menenun dengan cinta dan kesabaran yang sama. Tak hanya menenun, Emak Maya menanam sendiri pohon kapas untuk bahan dasar tenun gadod.

"Emak juga nanam pohon kapas untuk bahan tenun gadod. Ada lah lima pohon, sekarang masih ada di sini. Iya, emak sendiri yang tanam," katanya dengan bangga.

Emak Maya dan Tenun Gadod di MajalengkaEmak Maya dan Tenun Gadod di Majalengka Foto: Erick Disy Darmawan/detikJabar

Pohon-pohon kapas ini dipanen pada musim kemarau, lalu dipintal dan diolah menjadi benang, yang nantinya akan ia tenun menjadi kain. Ada lima jenis kain tenun gadod yang dihasilkan di Nunukbaru, seperti boeh larang, boeh karembong, selendang, dan kain ikat.

Namun seiring berkembangnya waktu, inovasi terus dilakukan oleh para pengrajin dengan memadukan motif-motif tradisional ke dalam berbagai produk baru. Inovasi ini tidak hanya menjaga kelestarian kain, tetapi juga membuatnya relevan dengan zaman modern. Harga kain tenun gadod sendiri bervariasi, mulai dari Rp150 ribu hingga Rp1 juta, tergantung pada jenis kainnya.

Baginya, setiap pesanan adalah sebuah kehormatan dan kesempatan untuk menjaga tradisi ini tetap hidup. "Kalau yang pesen tenun, nggak ada batas minimal. Satu pun saya bikin," ujarnya.

Di samping itu, Emak Maya juga bercerita tentang perjalanan tenun gadod yang pernah ia alami. Produksi tenun gadod tidak selalu mulus. Di masa penjajahan Jepang, produksi tenun gadod sempat terhenti.

"Zaman Jepang sempat terhenti karena udah mulai banyak pakaian (modern)," kenangnya.

Meskipun demikian, tradisi ini tidak padam. Hanya dua tahun setelah itu, Emak Maya dan para penenun lain kembali menghidupkan tradisi ini, menjaga agar tenun gadod tetap lestari.

Emak Maya dan Tenun Gadod di MajalengkaEmak Maya dan Tenun Gadod di Majalengka Foto: Erick Disy Darmawan/detikJabar

"Zaman Jepang itu cuma 2 tahun terhenti, terus lanjut lagi produksi karena ingin tetap menjadi warisan budaya leluhur," ujarnya.

Kini, Emak Maya tidak hanya menjaga tradisi ini untuk dirinya sendiri. Dengan dua anak, banyak cucu, dan buyut, ia bersyukur bahwa generasi penerus tenun gadod tetap ada. "Generasi penerus mah banyak, alhamdulillah," ucapnya.

Bahkan, kata Emak Maya, anak-anak sekolah juga sering datang ke rumahnya untuk belajar menenun. "Emak juga sering ngajarin anak-anak sekolah. Biasanya pada datang ke sini buat belajar nenun," pungkasnya.




(dir/dir)


Hide Ads