Desa Nunukbaru, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka mempunyai warisan budaya tradisional yang begitu berharga, yakni kain tenun gadod. Menurut kisah yang diceritakan secara turun-temurun, keberadaan tenun gadod telah ada sejak zaman kerajaan Telaga Mangung.
Sekedar diketahui, tenun gadod dibuat dari kapas honje. Uniknya, meskipun berbahan dasar kapas, kain ini memiliki kekuatan yang luar biasa, yang tercermin dalam nama gadod itu sendiri, yang berarti kuat.
Kekuatan ini juga menjadi simbol dari daya tahan dan keberlanjutan tradisi kain tenun gadod yang menjadikannya bukan hanya sekadar kain, tetapi juga warisan leluhur yang terus dijaga. Keberadaan tenun gadod masih tetap bertahan hingga kini berkat ketekunan para maestro tenun yang menjaga kelestariannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak cerita dari turun-temurun malahan dari semenjak zaman kerajaan, karena Nunuk itu erat kaitannya dengan kerajaan Telaga Mangung. Jadi di situlah tenun gadod pun tidak terlepas dari cerita itu," kata pengrajin tenun gadod, Tedi Nuryadi saat diwawancarai detikJabar belum lama ini.
![]() |
"Para maestro-maestro (tenun gadod) sekarang, pasti memegang teguh apa yang diwariskan para leluhurnya supaya tetap menjaga dan melestarikan tentang keberadaan dari tenun gadod itu sendiri," tambahnya.
Bagi masyarakat Desa Nunukbaru, kain tenun gadod memiliki fungsi yang sangat penting sebagai sumber sandang. Sebelum hadirnya pakaian modern, tenun gadod menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
"Kain tenun gadod itu, menurut keyakinan dan kepercayaan masyarakat di Desa Nunukbaru, yaitu sebagai sumber sandang. Mana kala kita tidak bisa lepas dari yang namanya sandang, walaupun keberadaan tenun gadod sekarang sudah ada di zaman modern. Sebelum adanya modern, kita tidak memungkiri para leluhur, nenek moyang, dulunya cikal bakal dari sekarang adalah sumber sandang yang sudah sangat melimpah itu berawal dari segala sesuatu hal yang tradisi," jelas dia.
Sebagai bagian dari tradisi leluhur, kain ini menjadi simbol kelangsungan budaya dalam menjaga sumber sandang dari generasi ke generasi. Cerita-cerita yang diwariskan oleh para leluhur mengisyaratkan bahwa kain ini telah menjadi bagian dari sejarah panjang masyarakat Nunukbaru, dan setiap benang yang ditenun mencerminkan nilai-nilai kebudayaan yang telah bertahan selama berabad-abad.
"Kalau dikaitkan dengan cerita sejarah mungkin keberadaan tenun gadod sudah ada ratusan tahun, karena cerita orang tua berkaitan dengan masa-masa kerajaan. Otomatis sebelum masa penjajahan Belanda dan Jepang keberadaan tenun gadod itu sudah ada," ujar Tedi.
Kain tenun gadod tidak hanya bertahan di masa lalu, tetapi terus diwariskan hingga ke generasi sekarang. Para maestro tenun di Nunukbaru memastikan tenun gadod menolak punah. Generasi di Nunukbaru dipastikan memahami pentingnya melestarikan kain ini.
"Alhamdulillah, karena kekuatan dan keyakinan yang dipegang para maestro tenun itu kuat, otomatis dengan sendirinya mereka mewarisi terhadap anak cucu, generasi, supaya tetap menjaga kelestarian tenungadod itu sendiri," ucapTedi.
Proses Pembuatan Tenun Gadod
Di sisi lain, Tedi juga menjelaskan pembuatan kain tenun gadod. Membuat tenun gadod diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 10-15 hari.
Melalui proses yang panjang, pembuatan tenun gadod dimulai dari tahap pembuatan benang, pewarnaan hingga menenun kebutuhan untuk satu kain masih dilakukan secara tradisional. Cara-cara tradisional itulah yang kemudian menjadi ciri khas tenun gadod.
"Kalau cara memproses pembuatan kain tenun gadod itu, karena tadi berkaitan dengan tradisi, sesuatu hal yang tradisional, jadi banyak tahapan. Karena dari mulai nol sampai menjadi kain, itu banyak jenis proses, kalau dalam istilah maestro tenun gadod itu tahapan-tahapannya dari mulai kapas sampai bahan baku banyak jenisnya," katanya.
"Karena di Nunuk itu kita menanam kapas sendiri, karena ketersediaan tenun kapas dari zaman leluhurnya tetap ada. Walaupun sekarang sudah zaman modern, tanaman kapas di desa kami, di desa Nunukbaru tetap ada," sambungnya.
Tedi menyampaikan, ada lima jenis kain tenun gadod yang dihasilkan di Nunukbaru, seperti boeh larang, boeh karembong, selendang, dan kain ikat. Namun seiring berkembangnya waktu, inovasi terus dilakukan oleh para pengrajin dengan memadukan motif-motif tradisional ke dalam berbagai produk baru. Inovasi ini tidak hanya menjaga kelestarian kain, tetapi juga membuatnya relevan dengan zaman modern.
"Kalau jenis dari kain yang dihasilkan dari menenun itu, ada sekitar lima jenis. Salah satunya berawal dari boeh larang, boeh, karembong, terus sekarang itu banyak mengarah terhadap inovasi dari berbagai macam arahan ada istilah selendang, kita bikin kain ikat, terus kolaborasi sama dipadupadankan sama antara produk seperti produk-produk lain," jelas dia.
Tedi mengatakan, harga kain tenun gadod sendiri bervariasi, mulai dari Rp150 ribu hingga Rp1 juta, tergantung pada jenis kainnya.
"Kalau harga kisaran di kain tenun gadod itu sesuai jenis sebenarnya. Pada awalnya yang paling bisa dikenalkan itu kain putih atau kain kapan, boeh larang itu berkisaran di angka maksimal Rp1 juta, untuk boeh. Karembong dan syal masih di bawah Rp1 jutaan. Minimal untuk syal dihargakan di angka Rp150 ribu. Ya, harganya mulai Rp150 ribu sampai Rp1 juta," ujarnya.
"Kalau penjualan pada awalnya mungkin hanya dari mulut ke mulut bahwa tenun gadod itu ada, sekarang seiring berkembangnya zaman didorong dengan berbagai teknologi, media, dan segala sesuatunya penyebaran luasan nama tenun gadod alhamdulillah mungkin seluruh Indonesia membaca-baca melalui artikel ataupun para-para kreator, konten kreator penyebaran luasan tenun gadod itu sangat pesat. Alhamdulillah berkat dorongan teknologi, nama besar tenun gadod semakin luas," kata Tedi menambahkan.
Simak Video "100 Hari Bupati & Hari Jadi Majalengka"
[Gambas:Video 20detik]
(mso/mso)