Syukur Suwarjono di Tengah Pahitnya Kehidupan Nelayan di Cirebon

Serba-serbi Warga

Syukur Suwarjono di Tengah Pahitnya Kehidupan Nelayan di Cirebon

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Rabu, 08 Mei 2024 13:30 WIB
Suwarjono di depan jejeran perahu di muara Sungai Sukalila Kota Cirebon.
Suwarjono di depan jejeran perahu di muara Sungai Sukalila Kota Cirebon. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar
Cirebon -

Sore itu, Suwarjono (54) sedang sibuk membereskan kapal miliknya. Meski di bulan ini jarang melaut, hampir saban hari Suwarjono datang untuk mengecek kapal miliknya yang ditambatkan di muara Sungai Sukalila, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

"Penghasilan saya dari laut, kalau musimnya lagi bersahabat kita dapat rezeki yah alhamdulillah, kalau tidak dapat rezeki yang tetap alhamdulillah yang penting berangkat selamat, pulang selamat," tutur Suwarjono, Selasa (7/5/2024).

Sudah dari kecil Suwarjono menjadi seorang nelayan. Tidak seperti sekarang, menurut Suwarjono dahulu muara sungai Sukalila ada ratusan kapal nelayan yang ditambatkan di muara Sukalila. "Sekarang usianya 54, jadi nelayan sejak tahun 1988, Dulu ada ratusan kapal di situ,"tutur Suwarjono.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Suwarjono, ada beberapa sebab, kenapa di bulan ini banyak nelayan yang tidak pergi ke laut untuk mencari ikan, seperti angin tenggara dan harga solar yang mahal dan terkadang sulit untuk didapatkan. "Harga solar yang mahal kan akhirnya nelayan merasa bingung, dengan naiknya solar tidak sesuai dengan pendapatan," tutur Suwarjono.

Suwarjono menuturkan, dalam sekali berangkat, Ia membutuhkan solar sekitar 160 liter selama dua hari, sedangkan solar dibatasi hanya 30 liter per orang. "Sekarang solar di pom dibatasi hanya 30 liter per juragan, sedangkan kalau melaut kan dua hari hampir 160 liter, akhirnya terkendala sama solar, meski musimnya lagi bagus," tutur Suwarjono.

ADVERTISEMENT

Tak hanya itu, ketika melaut pun ikan yang dihasilkan tidak sebanyak dulu. "Ikan sekarang nyarinya jauh juga. Dulu mah paling keluar muara udah dapat banyak. Faktornya mungkin zamannya sudah tua, ikanya larinya ke tengah," tutur Suwarjono.

Terlilit Utang

Suwardjono sendiri memiliki satu perahu, yang ia beli dengan cara menggadaikan sertifikat rumah miliknya. Rencananya, perahu tersebut digunakan untuk menambah penghasilan dari profesinya sebagai nelayan. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir, pendapatan sebagai nelayan masih belum menentu bahkan cenderung menurun.

"Yah musim sekarang modal dan hasil memang ada lebihan tetapi tidak banyak. Artinya modal ke laut dua hari dua malam itu sekitar Rp 1.300.000 sampai Rp 1.400.000. Misal dapat cuman Rp 2.000.000, paling sisa Rp 600.000 itupun dibagi dua sama juragan," tutur Suwarjono.

"Beli perahu 2012, sampai sekarang masih belum lunas, karena terkena COVID-19, kalau nominal besar nggak bisa ngangsur akhirnya nominalnya diperkecil selama lima tahun. Sekarang setorannya satu juta lebih, makanya kita mikir-mikir bakalan tetap terpenuhi nggak, kalau emang nggak bisa kemungkinan minta diperkecil lagi, biar setoran bisa terus berjalan. Total utang Rp 70 juta yang belum kebayar Rp 50 juta, yah semoga saja ada rezeki biar nggak keambil," Suwarjono menambahkan.

Menurut Suwarjono, memang tidak sedikit nelayan yang terjebak utang. Alasanya beragam, ada yang buat modal seperti dirinya, atau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "Yah itu kan kita cari modal ke sana ke mari, akhirnya kita pinjam dengan bank dengan gadaikan sertifikat buat beli perahu," tutur Suwarjono.

Selain sebagai nelayan, Suwarjono juga merangkap sebagai ketua RW 10 Pesisir Utara Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Ia menurutkan untuk di RW 10 sendiri masih ada sekitar puluhan orang yang berprofesi sebagai nelayan. " Masih sekitar 40 atau 50 orang yang jadi nelayan," tutur Suwarjono.

Menurut Suwarjono, jika sedang musim angin tenggara banyak nelayan menganggur karena tidak bisa melaut. "Nganggur, kadang-kadang ada pekerjaan serabutan yah ikut kaya bangunan," tutur Suwarjono.

Suwarjono menuturkan saat cuaca tak bersahabat untuk melaut dan membahayakan nelayan, seperti saat musim angin tenggara, pada zaman dulu pemerintah menggelontorkan program untuk membantu nelayan, program dana paceklik. Kini, program itu tak lagi bergulir.

"Harapan dari nelayan si ada kontribusi kayak dana paceklik. Waktu dulu pernah tahun 2000-an, tapi sampai sekarang sudah nggak ada lagi. Biasanya keluar pas angin tenggara atau angin kumbang, itu dananya dari pemerintah," tutur Suwarjono.

Suwardjono sendiri memiliki 3 orang anak, dari ketiganya, tidak ada yang meneruskan profesi Suwarjono untuk jadi nelayan. "Alhamdulillah sudah pada keluar sekolah SMA semua, yang rumah tangga sudah 2, tinggal 1 yang belum rumah tangga. Nggak ada yang jadi nelayan, anak-anak kerjanya di toko," tutur Suwarjono.

Banyak hal yang dialami Suwarjono kala melaut, ia menceritakan, pernah suatu hari ia terkena ombak besar di laut. "Pernah kena gelombang gede. Ini kan perahu kecil, akhirnya berlabuh terlebih dahulu, nunggu gelombangnya nggak terlalu gede," tutur Suwarjono.

Dengan kondisi nelayan yang seperti ini. Ada keinginan Suwarjono untuk berhenti menjadi nelayan dan beralih ke profesi lain. Namun karena modal dan keadaan, membuat Suwarjono urung untuk beralih profesi. "Kepengin sih ubah yah cuman kan karena keadaan dan modal, kalau mungkin ada modal bisa ganti profesi atau gimana, sekarang kan karena nggak ada modal akhirnya sampai tua tetap jadi nelayan," tutur Suwarjono.

Meski begitu, Suwarjono tidak putus asa, Ia tetap berharap suatu hari nasib nelayan akan lebih baik dari sekarang. "Tetap jadi nelayan, cuma harapan kami agar dari pemerintah itu dapat suplai solar atau subsidi buat nelayan biar terjangkau, kedua perhatian khusus lah untuk nelayan barangkali ada kebijakan buat nelayan, kan nelayan kadang dapat (penghasilan) kadang nggak, sedangkan tuntutan jalan terus," pungkas Suwarjono.

(sud/sud)


Hide Ads