Di bawah terik matahari siang, Tanil, seorang pria berusia 53 tahun, setia menanti penumpang dengan becak sewaannya. Setiap hari, ia mangkal di depan Pasar Perumnas, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, berharap ada pelanggan yang membutuhkan jasanya.
Sebelum menjadi tukang becak, Tanil bekerja sebagai buruh dan kuli bangunan di Jakarta. Namun, sejak 20 tahun lalu, ia memilih profesi sebagai tukang becak yang saat itu menjanjikan penghasilan cukup besar.
Baca juga: Perubahan dan Mimpi Besar dengan Endog Emen |
Pada masanya, profesi tukang becak cukup menjanjikan. Dalam sehari, Tanil bisa melayani puluhan penumpang dengan omzet mencapai ratusan ribu rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu sehari bisa sampai puluhan penumpang, pendapatannya lumayan bisa sampai Rp100.000-Rp200.000, saya jadi tukang becak dari tahun 2005 sudah jadi tukang becak, semenjak pasar belum kebakaran sudah di sini," tutur Tanil, Senin (17/3/2025).
Tak hanya melayani penumpang di sekitar Pasar Perumnas, Tanil juga sering mengantar pelanggan ke berbagai lokasi, termasuk Mall Hero Cirebon yang berjarak lebih dari 6 kilometer.
"Mangkalnya mah cuman di sini saja, cuman kadang-kadang orang minta anter sampai ke Mall Hero atau Pasar Pagi, itu bolak-balik, jauh juga tapi lumayan dapatnya, kadang juga sampai dikasih makan sama penumpangnya, tapi sekarang sudah nggak," ujarnya.
Selain mengantar penumpang, tukang becak juga dipercaya untuk mengantarkan makanan dan barang. Kala itu, jasa ini mirip dengan layanan pengantaran makanan online yang kini banyak digunakan.
"Dulu kalau sama langgan tuh disuruh nganterin makanan juga, dari tahun 2010-an tuh, kan langganan banyak di sekitar sini, bisa dapat Rp70.000-Rp100.000 dari nganter makanan," kata Tanil.
Namun, masa kejayaan itu kini hanya tinggal kenangan. Sejak pandemi COVID-19, pendapatan Tanil menurun drastis. Dalam sehari, ia hanya memperoleh sekitar Rp50.000, bahkan sering kali kesulitan membayar biaya sewa becak.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan pendapatan adalah kehadiran transportasi online. Banyak pelanggan setianya kini beralih ke layanan yang lebih praktis tersebut. Bahkan, banyak rekannya sesama tukang becak yang beralih profesi.
"Sebelum ada ojek online banyak langganan saya, ada 20 pelanggan mah, sekarang sepi paling cuman 3-4 tarikan sehari, paling besar sehari Rp50.000, itu belum bayar biaya sewa, seharinya kan Rp7.000, kadang malah kalau lagi sepi banget nggak bisa setor sewa. Dulu tukang becak di sini banyak ada puluhan, tapi sekarang tinggal belasan orang, pada berhenti," ungkapnya.
Meskipun pendapatannya semakin menurun, Tanil tidak punya banyak pilihan. Setiap hari, selepas subuh hingga pukul 13.00 WIB, ia tetap menarik becak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
"Disabarin, dilakoni, disyukuri, dinikmati yang penting sehat, setiap orang kan pasti ada fase sedihnya, anaknya 5 yang meninggal 1, sudah pada nikah semua, sudah punya cucu," pungkasnya.
Perjuangan Tanil mencerminkan realitas para tukang becak di tengah perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Meski menghadapi berbagai tantangan, ia tetap bertahan dengan rasa syukur dan semangat juang yang tinggi.
(sud/sud)