Kisah Perjuangan Dakwah Ki Jatira Pendiri Ponpes Babakan Ciwaringin

Kabupaten Cirebon

Kisah Perjuangan Dakwah Ki Jatira Pendiri Ponpes Babakan Ciwaringin

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Jumat, 22 Mar 2024 13:30 WIB
Suasana Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin.
Suasana Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin. Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar
Cirebon -

Sebagai salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia. Pesantren Babakan Ciwaringin memiliki sejarah yang panjang. Pertama kali berdiri pada tahun 1715 oleh sosok pendakwah sekaligus pejuang bernama KH Hasanudin bin Abdul Latif atau Ki Jatira.

Julukan Ki Jatira beliau dapatkan karena sering beristirahat di bawah dua pohon jati. Jati yang berarti pohon jati dan ra yang berarti dua. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin, KH Arwani Syaerozi, Ki Jatira masih keturunan dari Sunan Gunung Jati.

"Beliau ini keturunan dari Syekh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon dan juga keturunan dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Jadi ada dua jalur," tutur Arwani, Selasa (19/4/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain dikenal sebagai pendiri pesantren, Menurut Arwani, Ki Jatira juga merupakan seorang pejuang yang gigih dalam melawan penjajah. "Syekh Hasanudin atau Ki Jatira ini merupakan tokoh pejuang yang menghadapi penjajah Belanda pada itu," tutur Arwani.

Dikutip dari detikJabar, Ki Jatira awalnya membangun sebuah musala kecil di Babakan, yang digunakan untuk para santri dan warga sekitar untuk belajar ilmu agama. Namun, beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 1918, Belanda mulai menyerang padepokan milik Ki Jatira. Meski mendapatkan perlawanan yang cukup sengit. Akhirnya Ki Jatira berhasil dikalahkan.

ADVERTISEMENT

Tidak menyerah, Ki Jatira mulai datang kembali ke Babakan Ciwaringin pada tahun 1721. Tetapi upaya Ki Jatira membangun kembali padepokan diketahui oleh pihak Belanda. Mereka berencana untuk kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Mengetahui Belanda akan menyerang padepokan, Ki Jatira bersama para santri mengungsi ke Plumbon.

Salah satu alasan kenapa Ki Jatira terus dicari Belanda, tidak lain karena, Ki Jatira menolak pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang 1.000 kilometer yang akan menggusur tanah pesantren. Untuk mengelabui Belanda, Ki Jatira memindahkan patok dan tanda jalan agar tidak melewati pesantren. Hal ini lah yang membuat Belanda berkeinginan untuk terus menghancurkan pesantren.

Penolakan Ki Jatira dalam melawan Belanda, beberapa tahun kemudian menjadi inspirasi tercetusnya perang besar di Cirebon. Yakni, perang Kedongdong. Menurut Arwani, Pesantren Babakan Ciwaringin yang jaraknya tidak jauh dari daerah Kedongdong, ikut berkontribusi penuh dalam peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun.

"Pada saat perang kedongdong itu yang menggerakan dan bergerak saat itu di antaranya Pesantren Babakan Ciwaringin yaitu Syekh Hasanudin atau Ki Jatira," tutur Arwani.

Berdirinya Assalafie Babakan Ciwaringin

Setelah Ki Jatira wafat dan dimakamkan di Desa Marikangen, Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Dakwah Islam di Ciwaringin dilanjutkan oleh anak cucunya, salah satunya oleh KH Syaerozi yang mendirikan Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin pada tahun 1966.

"Babakan Ciwaringin dahulu kan pedukuhan yang santrinya orang sekitar dan orang yang menempuh ilmu kanuragan. Kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan pesantren belajar ilmu agama. Yang saat ini generasi kesembilan dari Ki Jatira," tutur Arwani.

KH Syaerozi sendiri merupakan ayah dari KH Arwani Syaerozi. Dikutip dari laman resmi pesantren Assalafie. Canggah KH Syaerozi bernama Kiai Zaenudin bin Kiai Kamaludin yang merupakan keponakan dari Syekh Hasanudin Jatira pendiri pesantren Babakan Ciwaringin.

KH Syaerozi lahir pada tanggal 10 Maret 1935 di desa Kalisapu, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Ayahnya KH Abdrohim dikenal sebagai ulama kharismatik pengasuh pondok pesantren Kepuh Palimanan Cirebon. Sejak kecil Syaerozi dikenal sebagai anak yang mudah bergaul, memiliki semangat yang tinggi serta menguasai kitab kuning. Bahkan pada usia 14 tahun beliau sudah mampu menghafalkan Nadzom Alfiyah Ibnu Malik. Sebuah kitab tata bahasa Arab tertinggi.

Setelah tamat sekolah rakyat, beliau mondok di beberapa pesantren seperti pesantren Babakan Ciwaringin, pesantren Lasem Rembang dan Pesantren Sarang Rembang, Jawa Tengah. Ketika selesai mondok dari Sarang Rembang, beliau pulang kembali ke Ciwaringin dan dinikahkan dengan Nyai Hj Tasmi'ah, anak dari gurunya KH Abdul Hannan bin Kyai Thoyib.

Sebelum diambil mantu. Pada malam hari KH Abdul Hanan melihat cahaya yang terpancar di wajah salah seorang santri. Karena gelap, beliau menandai sarung santri tersebut dengan ikatan di ujungnya. Besoknya, KH Abdul Hanan bertanya kepada santrinya, tentang siapa yang ujung sarungnya terdapat ikatan, ternyata santri tersebut adalah Syaerozi.

Bersama dengan istrinya beliau mendirikan pondok pesantren putra putri Assalafie Babakan Ciwaringin. Kegiatan beliau sehari-hari adalah mendidik para santrinya untuk terus mengaji dengan penuh kesabaran dan ketekunan.

KH Syaerozi juga aktif dalam beberapa organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), Majlis Ulama Indoensia (MUI) dan organisasi lokal jam'iyah istigasah pesantren Babakan. Beliau juga aktif melahirkan beberapa karya tulis seperti Mughni Labib tentang ilmu gramatikal Arab, kitab Syarh Al Luma' ilmu ushul fikih, Khulashoh Fi Ilmi Al Mustholah Ilmu Hadits, Abyat As Salaf gubahan sya'ir, dan Rasa'il Fil Adab Az Ziyaroh tentang Etika Ziaroh Kubur.

KH Syaerozi wafat pada 12 Juli 2000 meninggalkan putra dan putri yang menjadi penerus pesantren. Hingga sekarang, pondok pesantren Assalafie masih tetap eksis. Ada sekitar 2000 santri yang diasuh oleh anak dan menantu dari KH Syaerozi. Terletak di Jalan Gondang Manis No.52, Babakan, Kec. Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.

(sud/sud)


Hide Ads