Azan pitu merupakan tradisi yang ada di Masjid Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon. Hingga kini, tradisi azan pitu masih dilakukan setiap pelaksanaan salat Jumat di masjid Sang Cipta Rasa.
Secara harfiah, azan pitu sendiri berarti azan tujuh. Dalam hal ini, azan tersebut dikumandangkan oleh tujuh orang muazin secara bersamaan atau serempak.
Setiap kali mengumandangkan azan pitu, tujuh orang muazin itu biasanya mengenakan gamis atau jubah dengan warna yang seragam, berikut dengan penutup kepala. Sejauh ini, ada dua warna yang biasa digunakan oleh para muazin, yaitu warna putih dan warna hijau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid Sang Cipta Rasa didirikan pada sekitar tahun 1480. Masjid ini berada di kawasan Keraton Kasepuhan. Lokasinya sendiri tepat berada di depan Alun-alun Sangkala Buana.
Dikutip dari laman Universitas Gunung Jati (UGJ), Sabtu (11/11/2023), asal usul lahirnya tradisi azan pitu di Masjid Sang Cipta Rasa berawal dari adanya wabah penyakit yang menyerang warga di sekitar keraton. Akibat wabah tersebut, tidak sedikit warga yang jatuh sakit hingga berujung meninggal dunia.
Di tengah situasi itu, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kemudian berdoa dan meminta petunjuk kepada Allah SWT. Setelahnya, ia meminta kepada tujuh orang untuk mengumandangkan azan di Masjid Sang Cipta Rasa sebagai upaya untuk menghilangkan wabah tersebut.
Masih dikutip dari sumber yang sama, dalam salah satu babad Cirebon disebutkan, wabah penyakit di Cirebon itu merupakan kiriman dari seorang pengamal ilmu hitam. Sosok tersebut bernama Menjangan Wulung yang sering berdiam diri di momolo atau kubah masjid.
Singkat cerita, saat tujuh orang melantunkan azan secara bersamaan, suara ledakan terdengar hebat dari bagian kubah masjid. Saat itu, azan tersebut dikumandangkan di saat waktu salat Subuh. Ledakan yang terjadi pun mengakibatkan Menjangan Wulung yang berdiam diri di kubah masjid terluka.
Cerita itu lah yang konon melatari lahirnya tradisi azan pitu di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Hingga kini, tradisi tersebut masih dilakukan pada setiap pelaksanaan salat jumat di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon.
Sementara itu, menurut Penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, KH Jumhur, tidak semua orang bisa menjadi muazin dalam tradisi azan pitu. Ada tradisi atau cara tersendiri dalam proses pemilihan muazin pada azan pitu ini.
Ia menuturkan, para muazin yang ada saat ini adalah para keturunan dari muazin-muazin sebelumnya. Sehingga, tidak semua orang bisa menjadi muazin atau pengumandang azan pitu di masjid Agung Sang Cipta Rasa, kecuali adalah keturunan dari muazin sebelumnya.
"Prosesnya lebih kepada keturunan. Mereka (muazin saat ini) orang tuanya dulunya adalah muazin juga. Selain keturunan, kapasitas keilmuannya juga harus bagus," kata dia beberapa waktu lalu.
Saat ini, tradisi azan pitu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Azan pitu menjadi satu dari 13 karya asal Jawa Barat yang ditetapkan sebagai WBTB di tahun ini.
(dir/dir)