Karisma Kiai Muqoyyim Buntet Cirebon yang Ditakuti Belanda

Karisma Kiai Muqoyyim Buntet Cirebon yang Ditakuti Belanda

Ony Syahroni - detikJabar
Minggu, 22 Okt 2023 08:30 WIB
Pondok Pesantren Buntet Cirebon
Ponpes Buntet Cirebon (Foto: Ony Syahroni)
Cirebon -

Pondok Pesantren Buntet merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Cirebon, Jawa Barat. Karena usianya yang sudah mencapai ratusan tahun, pondok pesantren itu pun menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Dalam rangkaian acara peringatan 1 Abad NU di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 31 Januari 2023, Pesantren Buntet Cirebon telah dianugerahi sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia. Pondok Pesantren Buntet Cirebon berada di urutan ke-6 dari 56 pondok pesantren yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Di samping usianya yang sudah tua, ternyata ada cerita tersendiri di balik berdirinya Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Sang pendiri, yakni Kiai Muqoyyim disebut menjalani tirakat dengan cara berpuasa selama 12 tahun saat mendirikan Pondok Pesantren Buntet.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikJabar sempat berbincang-bincang dengan pemerhati sejarah pesantren-pesantren di Cirebon, Akhmad Rofahan. Ia menyebut, Pondok Pesantren Buntet mulai didirikan pada tahun 1750 oleh seorang ulama bernama Kiai Muqoyyim.

Menurut Rofahan, sebelum mendirikan Pondok Pesantren Buntet, Kiai Muqoyyim atau yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Muqoyyim itu merupakan seorang Mufti di Keraton Kanoman Cirebon.

ADVERTISEMENT

Kekecewaannya terhadap keraton yang lebih berpihak kepada penjajah Belanda, membuat Mbah Muqoyyim memutuskan keluar dari keraton. Mbah Muqoyyim pun akhirnya keluar dan memilih mendirikan pondok pesantren untuk menyebarkan ajaran agama Islam.

Pondok Pesantren Buntet CirebonPondok Pesantren Buntet Cirebon Foto: Ony Syahroni

"Awalnya, Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren di kampung Kedung Malang, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Pondok pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyyim kala itu hanya berupa bangunan sederhana yang dilengkapi musala dan beberapa kamar santri," kata Akhmad Rofahan beberapa waktu lalu.

Setelah pondok pesantren tersebut dibangun, tidak sedikit masyarakat yang kemudian tertarik untuk belajar ilmu-ilmu agama kepada Mbah Muqoyyim. Namun, upaya Mbah Muqoyyim dalam mendirikan Pondok Pesantren Buntet ternyata kerap mendapat gangguan dari penjajah Belanda.

Serangan Belanda

Belanda melihat, kebesaran nama Mbah Muqoyyim dengan banyak pengikut bisa berpotensi melakukan perlawanan. Serangan demi serangan pun dilakukan oleh Belanda ke pondok pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyyim. Tidak hanya itu, Belanda pun berusaha untuk menangkap sang Ulama.

Namun, saat Belanda melakukan serangan, informasi itu sudah lebih dulu diketahui oleh Mbah Muqoyyim. Ia pun berhasil menyelamatkan diri bersama dengan santri-santrinya.

Demi menghindari kejaran Belanda, Mbah Muqoyyim sendiri sempat berpindah-pindah tempat dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Salah satu tempat yang sempat disinggahi oleh Mbah Muqoyyim adalah Pemalang, Jawa Tengah.

Saat Mbah Muqoyyim berada di Pemalang, ada wabah penyakit yang melanda Cirebon. Wabah penyakit itu bahkan menyebabkan banyak orang meninggal dunia.

"Akhirnya muncul usulan untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim yang saat itu ada di Pemalang. Perwakilan keraton yang saat itu diutus langsung menghadap dan meminta bantuan Mbah Muqoyyim untuk mengusir wabah tersebut," terang Rofahan.

Permintaan itu pun disetujui oleh Mbah Muqoyyim. Ia kemudian kembali ke Cirebon. Dengan kelebihan yang dimilikinya, Mbah Muqoyyim berhasil mengusir wabah penyakit tersebut.

"Saat pulang ke Cirebon, Mbah Muqoyyim pun berusaha membangun kembali pesantren Buntet yang sebelumnya telah dihancurkan oleh Belanda," kata Rofahan.

Tirakat Puasa 12 Tahun

Saat membangun Pondok Pesantren Buntet, Mbah Muqoyyim pun menjalani tirakat daerah cara berpuasa selama 12 tahun. Tiga tahun pertama, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk keberkahan tanah dan pesantren yang ia bangun. Kemudian tiga tahun ke dua, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk keselamatan anak dan cucunya.

"Kemudian tiga tahun selanjutnya, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk para santri serta pengikutnya. Dan tiga tahun terakhir, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk keselamatan dirinya," kata Rofahan.

Seiring berjalannya waktu, Pondok Pesantren Buntet terus berkembang hingga mampu melahirkan tokoh-tokoh besar yang berkontribusi terhadap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu sosok yang cukup ternama adalah KH Abbas Abdul Jamil.

Rofahan mengatakan, KH Abbas Abdul Jamil atau Kiai Abbas merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan melawan penjajah usai dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Gerakan itu lah yang kemudian melahirkan peristiwa heroik, yakni perang 10 November di Surabaya.

Ponpes Buntet CirebonPonpes Buntet Cirebon Foto: Ony Syahroni

"Perang 10 November yang sebelumnya diminta dimulai lebih awal oleh Bung Tomo, dicegah oleh Kiai Hasyim Asy'ari. Ditolaknya permintaan Bung Tomo itu bukan tanpa alasan. Karena saat itu, Kiai Hasyim Asy'ari tidak mau memulai perang 10 November, sebelum macan dari Cirebon tiba di Surabaya. Macan dari Cirebon yang dimaksud, yaitu Kiai Abbas," kata Rofahan.

Selain Kiai Abbas, dalam perang 10 November di Surabaya itu, ada banyak ulama dan santri yang ikut terlibat. Mereka bersatu untuk terlibat langsung dalam peperangan pasca kemerdekaan tersebut.

Gerakan Santri Usir Penjajah

Rorahan menuturkan, dalam peristiwa itu, Kiai Abbas memiliki andil besar dalam menggerakan ribuan santri dari Cianjur dan beberapa daerah lainnya. Mereka digerakkan untuk ikut berperang di Surabaya melawan penjajah yang ingin mencoba menguasai kembali wilayah Indonesia.

"Banyak daerah yang merasa dibantu oleh Kiai Abbas dalam melawan penjajah. Bukan hanya Cirebon dan Surabaya saja, tapi juga Cianjur dan wilayah lainnya," ujar Rofahan.

Sebagaimana diketahui, peperangan melawan penjajah yang terjadi di Surabaya menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Peperangan itu pun menjadi bukti sejarah atas peran para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah.

Hal ini tidak terlepas dari adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh salah satu tokoh pendiri NU, yakni Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Seruan Resolusi Jihad yang dilakukan pada 22 Oktober 1945 itu mampu membakar semangat juang berbagai lapisan masyarakat, termasuk kaum santri untuk berperang melawan penjajah.

Untuk mengenang perjuangan para ulama dan santri dalam peperangan melawan penjajah, Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads