Kisah Genjring Ronyok dan Juru Tulis Sunan Gunung Jati di Ciamis

Kisah Genjring Ronyok dan Juru Tulis Sunan Gunung Jati di Ciamis

Dadang Hermansyah - detikJabar
Minggu, 23 Jun 2024 11:30 WIB
Kesenian Genjring Ronyok saat tampil di sebuah acara di Astana Gede Kawali.
Kesenian Genjring Ronyok saat tampil di sebuah acara di Astana Gede Kawali. Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar
Ciamis -

Genjring ronyok merupakan kesenian buhun yang berasal dari Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Konon, Kesenian genjring ronyok ini bukti peninggalan penyebaran Islam yang menarik untuk dibahas.

Genjring atau rebana dipakai oleh Pangeran Usman yang diutus kesultanan Cirebon sebagai sarana untuk menyebarkan Islam di wilayah Kawali pada tahun 1643. Kesenian ini hampir sama seperti rebana, ditabuh mengiringi salawat atau barzanji.

Genjring ronyok kerap ditampilkan pada setiap kegiatan keagamaan atau acara besar di Kawali, termasuk di Astana Gede Kawali. Saat ini mayoritas pemain Genjring ronyok adalah lansia yang usianya 50 tahun ke atas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Awalnya pada masa pemerintahan Pangeran Usman di Kawali, yang sekarang makamnya di Astana Gede Kawali. Beliau syiar Islam menggunakan alat musik ini," ujar Mahmud, Ketua Genjring Ronyok Tepak Lima Kawali, Sabtu (22/6/2024).

Mahmud mengatakan genjring ronyok ini sempat vakum atau tidak dimainkan. Namun ada pemuka agama bernama Ajengan Ihat kembali membuka dan melestarikannya hingga eksis sampai sekarang.

ADVERTISEMENT

"Seiring waktu asa penelitian dari STSI Bandung, lalu ditambahkan namanya Seni Genjring Ronyok Tepak Lima. Sudah ada akta notarisnya," ungkapnya.

Mahmud bersama rombongannya pun terus melestarikan dan mengembangkannya ke generasi penerus. Namun pihaknya ingin ada sentuhan dan dukungan dari pemerintah terkait beeradan seni tradisi religi ini.

"Memang untuk pentas kebanyakan masih usia tua. Tapi kami mulai mengembangkannya ke generasi muda, tujuannya agar genjring ronyok ini tetap lestari," ungkapnya.

Mahmud menjelaskan, satu set genjring ronyok ada 4, kemudian ditambah tepak 5. Yakni tepak kincar, tepak gejos, tepak rumyang, rudat dan tepak genjring tilu.

"Dimainkan mengiringi salawat barzanji. Maksudnya untuk ngalap barokah," jelasnya.

Kesenian Genjring Ronyok saat tampil di sebuah acara di Astana Gede Kawali.Kesenian Genjring Ronyok saat tampil di sebuah acara di Astana Gede Kawali. Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar

Sejarah Syekh Pangeran Usman di Kawali

Budayawan Kawali Enno yang juga petugas di Situs Astana Gede Kawali menjelaskan sejarah Syekh Pangeran Usman yang merupakan ulama besar penyebar Islam di Kawali.

Pada tahun 1643, ada 5 ulama besar dari Kesultanan Cirebon datang ke Galuh. Di antaranya adalah Adipati Singacala dan Syekh Pangeran Usman.

Syekh Pangeran Usman bukan berasal dari tanah Sunda, melainkan orang Yaman Timur Tengah. Ia datang ke Cirebon dan mendampingi Syekh Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati.

Di Cirebon, Syekh Pangeran Usman menikah dengan Anjungsari yang dikenal sebagai santriwati dan juga ahli seni. Dari istrinya ini, Pangeran Usman memiliki gagasan dengan seni jadi media penyebaran Islam yakni menggunakan genjring ronyok dan tarbang.

"Pangeran Usman juga dipercaya pernah jadi juru tulis Syekh Sunan Gunung Jati. Beliau juga menjadi pemimpin ulama yang diutus Kesultanan Cirebon ke Galuh atau Ciamis," ungkapnya.

Enno menjelaskan, Pangeran Usman sempat mengubah Astana Gede Kawali menjadi pesantren, namanya Rancamaya. Pangeran Usman juga berjasa dalam melindungi prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Galuh. Caranya dengan menyembunyikan prasasti di bawah bangunan pesantren.

"Pangeran Usman ini melindungi prasasti yang bisa kita lihat sekarang. Di abad 17 kan sedang gencarnya penyebaran Islam, ditambah Mataram masuk. Terlebih beliau tahu bahwa Syeh Sunan Gunung Jati cucu dari Prabu Siliwangi. Jadi ketika Mataram datang tidak bisa apa-apa karena di Astana Gede Kawali kondisinya pesantren," ungkapnya.

Pada masa itu, wilayah Kawali Galuh masuk ke Residenan Cirebon. Sedangkan Kawali kedudukannya adalah keadipatian, dan yang menjadi pemimpinnya Adipati setara bupati. Sunan Gunung Jati memberikan kebebasan untuk mendirikan pemerintahan kecil.

"Peninggalan pesantren untuk bangunannya kan tidak permanen. Tapi di sana ada beberapa gerabah keramik dengan tulisan arab. Ada juga batu dengan ukiran arab," jelasnya.

Ajaran Pangeran Usman adalah tarekat satariyah. Dalam menyebarkan Islam, Pangeran Usman tidak menghilangkan budaya melainkan memasukkan atau mengadopsi budaya sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Buktinya berbagai budaya dan kesenian dengan nuansa Islam masih bisa dilihat di Ciamis seperti genjring ronyok.

(sud/sud)


Hide Ads