Cerita lucu Si Kabayan menjadi cerita yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Sunda. Tidak diketahui kapan cerita Si Kabayan muncul, namun, pada tahun 1929 telah ada sarjana Belanda yang meneliti cerita rakyat ini.
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan cerita-cerita Si Kabayan dari sejumlah daerah di tanah Sunda. Penelitian itu dilakukan oleh Lina Maria Coster-Wijsman. Dia mengumpulkan lebih dari 80 cerita Si Kabayan dari wilayah paling barat tanah Sunda, yaitu Banten.
Temuan Coster-Wijsman tersebut merupakan disertasi tahun 1929 di Universitas Kerajaan Belanda yang kemudian dibukukan dengan judul "Si Kabayan: Cerita Lucu di Indonesia Terutama di Tanah Sunda" (Pustaka Jaya, 2008).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Si Kabayan dalam karakternya mewakili masyarakat Sunda yang rileks dan memandang segala sesuatu dengan cara yang "sineger tengah" (mengambil pertengahan). Saking rileksnya, dia selalu punya banyak akal untuk menjawab peristiwa sehari-hari yang sedang dihadapinya.
Dalam banyak cerita lucunya, Si Kabayan selalu disandingkan dengan sejumlah tokoh lain. Yakni, istrinya yang bernama Nyi Iteung, dengan ibu mertuanya yang disebut Ambu, dengan bapak mertuanya yang disebut Abah, atau dengan masyarakatnya.
Dongeng Si Kabayan
Dongeng Si Kabayan semuanya di dalam bahasa Sunda. Namun, di bawah ini, cerita tersebut telah diceritakan kembali di dalam bahasa Indonesia oleh Yeni Mulyani Supriatin dalam buku berjudul "Si Kabayan" terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004.
Alih bahasa dari Sunda ke Indonesia memang tidak bisa meninggalkan kata-kata yang khas di dalam bahasa Sunda seperti "mah", "atuh", "na" atau "naha", yang kebanyakan dari kata-kata itu sulit dicari padanannya di dalam bahasa Indonesia.
Dalam banyak cerita, Si Kabayan juga punya julukan, yaitu Si Borokokok. Julukan itu dapat terbaca dalam cerita di bawah ini:
Cerita Lucu Si Kabayan Mencari Keong Sawah
Dari jendela rumah, pemandangan pertama yang tersuguh tiada lain gunung-gunung dengan puncak bukitnya memagari pedesaan dengan kuatnya. Nyi lteung sering melayangkan pandang ke arah gunung-gunung yang mengelilingi dusunnya ketika membuka jendela kamarnya, menyambut datangnya hari baru. Lalu, ia menghirup udara segar dengan tarikan napas yang kuat sampai terasa menyelusup ke dalam dadanya. Pohonan dengan warna hijau daunan yang segar di luar sana seperti tergambar di atas kanvas memberikan kesejukan dan kedamaian.
Namun, rasa itu tiba-tiba lenyap, manakala terdengar dengkur suaminya yang naik turun seiring dengan gerakan dadanya. Ditolehnya sejenak suaminya yang sedang tidur, tubuhnya melingkar di atas balebale. Nyi lteung dengan kesal bergegas keluar kamar menuju dapurnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari Abah dan Ambunya, namun tidak seorang pun ditemuinya.
"Ah, Abah dan Ambu sudah pergi ke ladang," katanya dalam hati.
Abah dan Ambu Nyi lteung seorang petani yang bekerja keras melawan musim yang datang silih berganti. Kemarau panjang yang membuat udara dingin di pagi hari dan panas di siang hari tiada dihiraukannya. Begitu pula apabila musim hujan, yang datang tidak mengenal waktu, bukan halangan bagi mereka untuk terus bekerja di ladang. Terbayang di pelupuk matanya, dengan celana petaninya yang kebesaran dan berwarna gelap, Abah biasanya bergegas menuju ladang sambil memikul alat-alat pertaniannya atau kadang-kadang membawa ember yang berisi kotoran binatang untuk disebarkan dan dicampur dengan tanah di ladang.
Di belakang tampak Ambu tersaruk-saruk mengikuti langkah Abah. Seperti perempuan petani lain di desa itu, Ambu memiliki perawakan sedang, tetapi kuat terpancang pada kedua kaki yang menggembung seperti batang bambu hijau. Mukanya tidak bulat ataupun Iebar, tetapi berbentuk oval dengan tulang pipi berisi, memancarkan keibuan yang menyejukkan.
"Ah Ambu, mungkin bekerja lebih keras daripada Abah. Malam-malam pada waktu seisi rumah tidur, kadang-kadang aku terbangun oleh dengkur Kabayan, lalu melihat Ambu menambal baju yang biasa dipakai ke ladang hanya dengan lampu berkerudung kertas, atau Ambu sedang megyiapkan makanan untuk bekal yang dibawanya ke ladang," gumam Nyi lteung.
Nyi lteung terkejut, bayangan Abah dan Ambunya buyar seketika oleh langkah-langkah orang di luar sana yang memanggil-manggil Abah dan Ambunya.
"Abah, Ambu, ayo kita ke ladang!" teriak suara orang di luar.
"Abah dan Ambu mah, udah duluan," balas Nyi lteung.
"Na, nyubuh-nyubuh amat, Nyai?" kata orang itu sambil meneruskan langkahnya.
Nyi lteung tidak membalas lagi, terus saja ia menjerang air dan menanak nasi. Lalu, ia turun ke lebak, menuju pancuran sambil membawa cucian. Hari masih gelap, samar-samar, tapi jalan ke arah pancuran ia sudah hafal. Dari kejauhan terdengar suara teman-temannya yang sedang mencuci sambil bercanda. Nyi lteung mempercepat langkahnya takut tidak kebagian tempat. Benar saja di pancuran ternyata sudah ramai.
"Nyai, mau nyuci?" tanya salah seorang.
"Ya," jawab Nyi lteung pendek.
"Silakan di sana!" kata seseorang itu sambil menunjuk pada sisi sebelah pinggir yang masih kosong.
"Mangga," Nyi lteung menjawab sambil terus ke pinggir sungai yang biasa dipakai mencuci. Ia mengeluarkan cucian dari dalam ember yang dibawanya sedari tadi.
Nyi lteung terus mencuci, tidak berbicara lagi. Setelah selesai mencuci ia lalu mandi. Air pancuran membasahi seluruh tubuh Nyi lteung. Terasa seperti menembus pori-pori sampai masuk ke tulang sumsumnya. Nyi lteung kedinginan, menggigil. Buru-buru Nyi lteung mengenakan kainnya, buru-buru naik hendak pulang.
"Na, Nyai, kenapa buru-buru? Seperti takut ketinggalan kereta!" tanya teman-temannya.
"Oh, itu Aceuk, tadi teh lagi nanak nasi dan menjerang air," jawabnya pendek.
"Oh, begitu? Ya, sok atuh, entar gosong nasinya!"
Tanpa berbicara lagi, Nyi lteung setengah berlari ke rumahnya. Masuk ke dapur, asap sudah mengepul dari ceret. Seeeng, tempat menanak nasi juga sudah berbunyi. "Ah, jangan-jangan dari tadi, ke mana Si Borokokok? Belum bangun?" tanyanya dalam hati.
"Ah, Si Borokokok mah tidak bisa diandalkan! KerJanya tidur melulu," Nyi lteung mengomel sambil terus menjerang air dan nasi yang sudah matang.
Tanpa terasa hari semakin siang. Matahari bersinar amat terang, udara amat nyaman menerobos sela-sela bilik dapurnya. Nyi lteung sudah lama di dapur, nasi sudah matang, air juga sudah panas. Perut Nyi lteung berbunyi, "Ah, rasanya lapar!"
Nyi lteung mengambil piring dan menyendok nasi. "Tapi, apa lauknya, ya?" Ia bertanya dalam hati. "Ah, seandainya makan dengan tutut, 'keong sawah yang kecil'
pasti nikmat," bisiknya. "Tapi, mana Si Borokokok teh?"
"Kang! Kang Kabayan!" teriaknya.
Tidak ada sahutan. Masih sepi belum ada tanda-tanda kehadiran. Si Kabayan. "Nah, tidur teh keterlaluan! Seperti orang mati saja, bagaimana kalau terjadi kebakaran?" Ia sekali lagi berteriak, "Kang Kabayan! Kang ... ! Yeuh aya bangsat! Bangun! Orang mah sudah ke ladang, sudah nyuci, masak! Na, Akang tidur wae?"
Tetap tidak ada sahutan. Nyi lteung penasaran, buru-buru menuju kamarnya. Tampak Si Kabayan masih menggeliat-geliat di balai-balainya. Air liurnya sudah ke mana-mana, sudah seperti pulau saja. Nyi lteung memanggil-manggil sambil menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. Tapi, Kabayan tidak bereaksi. Malahan setiap dipanggil namanya oleh Nyi lteung, jawabnya selalu sama, "Ntar, sebentar lagi, tanggung, lagi mimpi."
lstrinya kesal, akhirnya dibiarkan saja Si Kabayan. Namun, dibiarkan itu tidurnya tambah pulas. Dengkurnya saja terdengar semakin keras seperti suara babi. Nyi lteung keluar, mencari sesuatu. "Biar, harus pakai ini nih," katanya sambil tangannya mengambil jeujeur pancing. Diintip dari luar, dari sela-sela bilik, Si Kabayan masih telentang, tidak memakai baju. Perutnya buncit, napasnya memburu turun naik seperti sedang berlari, dan rambutnya kusut. Nyi lteung tidak ragu-ragu lagi, jeujeur pancing yang sejak tadi dipegang, dimasukkan ke sela-sela bilik terus didekatkan ke atas perut Kabayan. Dengan sekuat tenaga, jeujeur yang tajam itu ditekankan pada perut Kabayan.
Si Kabayan terperanjat dan berteriak, "Hadang di Lebak! Awas, jangan lolos!"
"Apa, Hadang di Lebak teh, hah? Bangun!" Nyi lteung membentak.
Dengan malas, Si Kabayan bangun, menatap istrinya yang sedang berdiri sambil membawa jeujeur pancing.
"Hah, mengganggu saja! Aku sedang mimpi menangkap kancra. Sudah lepas lagi gara-gara kamu, Nyai! Berisik!"
"Jangan ngelantur, heh!" istrinya tidak kalah sengitnya. "Mendingan mencari tutut untuk makan, hayoh! Nasi sudah matang. Apa mau
makan cuma dengan garam?"
"Mencari tutut ke mana, Nyai? Segitu sudah siangnya?" tanya Si Kabayan.
"Mencari ke mana? Tutut biasanya ada di mana? Tidak ada keinginan amat! Ya, ke sawah! Nanti disayur, kan bumbunya sudah ada! Aku sudah lapar, sudah bangun dari subuh."
Si Kabayan bangun dengan lamban dan malas-malasan, sambil tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, lalu keluar
meninggalkan rumahnya sambil mengomel.
"Ah, sedang enak-enak mimpi, diganggu!"
"Na, enggak ke pancuran dulu?" tanya istrinya.
"Engga," jawab Si Kabayan. "Nanti saja mandi di sawah, biar airnya hangat."
Nyi lteung geleng-geleng kepala sambil menatap kepergian suaminya. Ia menunggu suaminya sambil menahan perut yang sejak tadi keroncongan. Ia lalu ke dapur, meny1apkan bumbu untuk sayur tutut. Bumbu sudah jadi, tapi suaminya belum juga datang.
"Na, ke mana Si Borokokok teh? Sekadar mencari tutut, kok lama sekali?" Nyi lteung mengomel seorang diri. Karena Si Kabayan tidak ada tanda-tanda bakal pulang, Nyi lteung menyusul ke sawah. Dari jauh tampak suaminya sedang berjongkok saja di atas pematang sawah sambil memegang bambu yang panjang.
"Kang Kabayan, sedang apa?"
"Lah, kan sedang mencari tutut. Kan Nyai mau nyayur tutun"
"Masa dikorek-korek dari atas galengan? Turun ke sana, gitu!"
"Engga ah, takut tenggelam. Lihat tuh airnya sangat dalam, langit juga kelihatan dari sini. Apa Nyai mau jadi janda?" Nyi lteung sangat kesal. Tanpa ragu-ragu lagi suaminya didorongnya ke dalam sawah. Byur, Si Kabayan jatuh ke sawah yang baru ditanami padi.
Si Kabayan berkata sambil cengar-cengir, "Eh, kok dangkal, ya ?"
Nyi lteung tidak bicara lagi. Ia berbalik arah memunggungi Kabayan, pulang, sambil mengomel-ngomel, "Lain kali, kalau mencari tutut, jangan dikorek-korek dari atas. Turun! Tangkap dengan saringan, atau tangkap dengan tangan!"
Pesan Moral
Setelah membaca cerita itu, dapat diambil pesan moralnya. Yaitu, di dalam bahasa Sunda diibaratkan dengan peribahasa "nyalindung ka gelung" yaitu suami yang menggantungkan hidupnya kepada istrinya. Malas bekerja, sampai-sampai tidak tahu teknik mengambil keong sawah. Apa balasan yang pantas untuk suami seperti Si Kabayan di atas? Diceburkan ke sawah.