Si Kabayan adalah cerita rakyat di Sunda. Ciri utama cerita rakyat yaitu dia berasal dari kisah-kisah lisan dan menceritakan tentang keadaan di masyarakat pada umumnya.
Cerita Si Kabayan bukan seperti 'Carita Pantun' dalam kesusasteraan Sunda lama yang berkisah tentang raja atau anak raja yang melakukan sebuah perjalanan dan berakhir dengan kebahagiaan. Cerita Si Kabayan adalah cerita rakyat kecil.
Semua sudah tahu, Si Kabayan adalah sosok yang jenaka. Lebih dari jenaka, dia adalah pemalas yang konyol. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konyol boleh diartikan kurang sopan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, bagaimana jadinya sosok Si Kabayan diamanahi sebuah jabatan agama? Yaitu, menjadi 'Lebé'. Menurut Kamus Sundadigi, di antara makna kata Lebé adalah kepala agama di desa-desa.
Ahmad Bakri (Ciamis, 1917-1988), seorang sastrawan produktif dan terkenal menulis karangan dengan mengolah tokoh cerita rakyat Si Kabayan menjadi kepala agama. Karangan dalam bahasa Sunda ini berjudul 'Lebé Kabayan', terbit pertama kali pada 1986. Dalam artikel ini, detikJabar menggunakan cetakan Kiblat Buku Utama tahun 2021.
Sinopsis 'Lebé Kabayan'
Seorang lebé di Desa Warnasari meninggal dunia. Namun, sudah hampir 40 hari kematiannya, belum ada ganti untuk posisinya. Kepala desa, kuwu, jurutulis, dan perangkat desa lainnya berembuk untuk membicarakan gantinya.
Mereka menata orang per orang warga desa yang dirasa mampu menjadi lebé, utamanya dari segi kepiawaian dalam mebaca doa-doa keagamaan. Namun, tak ada satupun yang mencapai kriteria yang diharapkan, ada saja celanya.
Memilih bekas mandor, ada keluhan soal kebiasaanya memerintah tanpa memberikan upah. Dan banyak lagi orang dari profesi lainnya yang dikeluhkan jika menjadi lebé. Satu-satunya yang memungkinkan untuk 'disertir' adalah Si Kabayan. Namun, semua orang pada rembukan itu tahu Si Kabayan sangat pemalas.
Si Kabayan akhirnya resmi menjadi lebé. Dia senang betul karena jabatan itu adalah jabatan bergengsi, yang dengan jabatan itu, dia bisa mendapatkan nasi berkat setiap hari jika ada orang meninggal dunia atau ada anak katam (hatam) Al-Quran. Selain itu, dia juga bisa dapat 'duit' dari orang yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian. Menjadi kepala agama kini pekerjaan baru Si Kabayan.
Makan dan Kawin
Si Kabayan hidup bersama istri dan dua anaknya. Istrinya Ijem, disebut pula 'Indungna Si Ito' atau Ibunya Si Ito. Hidup mereka miskin. Maka, cara-cara transaksional dalam menjalankan jabatan lebé dilakukan oleh Si Kabayan.
Yang penting, Si Kabayan bisa makan dan dia bisa memberi makan istrinya. Namun, selain senang makan, agamawan seperti Si Kabayan senang juga kepada perempuan.
Suatu saat, Seorang bernama Karta datang ketika Kabayan sedang membuka nasi berkat kataman Al-Quran. Kabayan mengaku bahwa yang menarik baginya bukanlah acara pengajiannya, melainkan nasi tumpeng.
"Matak kayungyun..."
"Naonana matak kayungyun téh, Pa Lebé...? Ngajina?"
"Tumpengna..! Nyao ngajina mah da teu ngarti!" (hal. 18).
Lebé Kabayan juga senang dengan perempuan. Buktinya, ketika dia diminta 'ngaheuleut', yaitu menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dan mereka ingin rujuk maka harus terselang dengan pernikahan dengan laki-laki lain, Lebé Kabayan mau menerimanya.
Bukan saja 'ngaheuleut' Nyi Inot janda Karta yang disanggupi lebé, namun Lebé Kabayan juga melirik janda Nyi Etéh, istri lebé sebelumnya yang meninggal dunia.
Istrinya, Si Ijem, uring-uringan karena tidak mau dimadu. Jangankan dimadu, dia hidup bersama Si Kabayan saja hidup begitu susahnya, bahkan untuk makan pun harus menunggu orang meninggal atau sakit. Akhirnya, Si Ijem juga meninggalkan Si Kabayan, cerai.
Si Kabayan yang sebelumnya sudah mengincar Nyi Inot mantan Karta dan Nyi Etéh yang ditinggal mati lebé, hanya gigit jari. Nyi Inot diheuleut Si Jumad, dan Nyi Etéh dikawin oleh lurah.
Agama di Tangan Tokoh Konyol
Dalam 'Lebé Kabayan', Si Kabayan menjadi tokoh yang gila hormat. Bahkan, orang menyebut Pak Kabayan saja dimarahi, harusnya memanggilnya dengan Pak Lebé. Disebutnya 'teu ngadab' atau tidak punya adab.
Kemudian, jabatan agama yang diembannya kini hanya dipergunakan untuk mencari uang saja. Ketika ada orang gelandangan meninggal dunia, Si Kabayan tidak mau memulasara jenazahnya sampai menguburkan. Katanya, gelandangan seperti itu 'bukan jelema' (bukan manusia).
Baca juga: Cerita Lucu Si Kabayan Mencari Keong Sawah |
Maksudnya, bukan orang kaya yang akan memberikan keuntungan rupiah bagi lebé yang mengurusnya. Maka, Si Kabayan bermalas-malasan saja.
"Nu sok jajaluk téa... teu kanyahoan udurna. Tadi aya nu mendakan geus maot di saung pasar."
"Bedul téh...! Sugan déwék jelema!" (hal. 52)
(iqk/iqk)