Dongeng Si Kabayan memang tidak ada habisnya. Selalu saja ada tingkah cerdik nan jenaka yang dilakukannya. Tingkah Si Kabayan ini tak jarang membuat orang mengerutkan dahi, sedikit berpikir keras, dan diakhiri dengan tertawa lepas.
Kali ini, simaklah dongeng Si Kabayan 'Ngadeupaan Lincar'. Sosok jenaka Sunda ini menemukan akal untuk datang ke tempat tetangganya yang hajatan meski sebelumnya tidak diundang.
Bagaimana caranya? Yaitu dengan 'Ngadeupaan Lincar'. 'Lincar' adalah bagian pada rumah panggung khas orang Sunda berupa papan panjang yang dipasang pada bagian luar rumah, tepatnya pada sudut pertemuan antara lantai rumah panggung dengan dinding bilik bambu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara 'Ngadeupaan' adalah mengukur dengan bentangan kedua tangan. Dari ujung jari tengah tangan kiri hingga ujung jari tengah tangan kanan.
Bagaimana dongengnya? Dongeng Si Kabayan Ngadeupaan Lincar ini dikutip dan disesuaikan dari buku 'Si Kabayan' karangan M.O. Koesman (Kiblat Buku Utama, 2013) di dalam bahasa Sunda.
Dongeng Si Kabayan Ngadeupaan Lincar
Si Kabayan tampak gusar sebab hingga siang hari belum juga ada undangan untuk dirinya menghadiri hajatan. Padahal, hajatan tetangganya yang hanya terselang empat rumah itu lumayan megah, malah sampai menyembelih kambing segala.
Di teras rumahnya, Si Kabayan hanya duduk menyaksikan tetangga-tetangganya yang lain lewat ke depannya. Sebagian dari mereka ada yang mengajak Si Kabayan untuk pergi bareng ke hajatan. Namun, Si Kabayan menolak.
"Ah, saya ini enggak diundang!" katanya.
Tetapi, aroma daging kambing yang dimasak di rumah orang hajatan sampai juga ke hidungnya. Wanginya membangkitkan hasratnya untuk makan enak.
Bayangan tentang daging kambing bakar memenuhi kepalanya. Dan itulah yang membuatnya loncat dari tempat duduknya lalu masuk ke dalam rumah.
Sesaat kemudian, Si Kabayan keluar rumah dengan tanpa memakai baju. Dia telanjang dada menuju ke rumah yang hajatan. Di rumah itu, orang-orang belum mulai makan sebab menunggu penghulu datang untuk berdoa.
Dengan percaya diri, Si Kabayan mulai 'ngadeupaan lincar' sambil berhitung. "Sadeupaa! Dua deupaa! Tilu deupa!" katanya dengan suara keras.
Mendengar suara Si Kabayan, orang-orang di dalam rumah menoleh ke luar dan mendapati Si Kabayan sedang mengelilingi rumah dengan menempel-tempelkan kedua tangannya pada lincar.
Yang punya hajat keluar dan bertanya tentang tingkah Si Kabayan yang seperti anak kecil. Yaitu, tidak memakai baju dan mengukur keliling rumah dengan tangan.
"Ya, kalau saya ini dianggap dewasa, pastilah saya diundang," kata Si Kabayan sambil terus menghitung deupaan.
"Aduh, lupa Kabayan! Benar kamu tidak diundang. Terlewat. Ayo sekarang ganti baju dengan yang pantas, kamu diundang," kata yang punya hajat.
Si Kabayan semringah dan bergegas mau ganti baju. Tapi, seseorang dari rumah menyahut bahwa Si Kabayan terlewat itu karena sering 'dahar cau sisina' (makan pisang paling pinggir dari sisirnya).
"Kamu sih sering makan pisang paling pinggir, jadi terlewat," kata tetangganya.
"Ah, kesukaan saya pisang paling pinggir soalnya besar. Kata ibu mertua, saya 'kasingsal' (terlewat diundang) karena terlalu dekat dengan yang hajat. Dulu juga, waktu ibu mertua hajat, saya ini tidak terundang sebab katanya terlalu dekat," kata Si Kabayan disambut gelegar tawa seisi rumah.
'Ngadeupaan Lincar' Jadi Peribahasa untuk Menyebut Karakter Ingin Diberi
Demikianlah aktivitas Si Kabayan 'ngadeupaan lincar'. Mengelilingi papan panjang pada bagian bawah rumah panggung dengan bentangan tangan.
Dalam kebudayaan Sunda, 'ngadeupaan lincar' telah menjadi peribahasa untuk menunjukkan karakter seseorang yang selalu ingin diberi.
Orang yang selalu ingin diberi akan hilir-mudik, lalu-lalang, di dekat rumah orang yang sedang hajatan, baru mendapat rezeki besar, dan lain sebagainya yang berupa kenikmatan.
Tersebutlah orang yang kumincir, berputar seperti kincir di tempat orang hajatan dengan maksud ingin dipanggil orang si empunya hajat dan diberi makanan sebagai 'tukang ngadeupaan lincar'.
(tya/tey)