Tenun gedogan merupakan salah satu kerajinan yang ada di Kabupaten Indramayu. Aktivitas menenun kain ini sudah sangat jarang terlihat. Bahkan bisa dikatakan hanya tersisa satu orang perajin.
Penelusuran detikJabar, aktivitas menenun di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, terlihat sangat langka. Kerajinan warisan orang tua terdahulu itu semakin terancam keberadaannya.
Sunarih (69), menjadi satu-satunya warga yang masih melestarikan tenun gedogan Indramayu. Bagi Sunarih, hasil dari menenun bisa menambah penghasilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya dari remaja sampai sekarang. Dulu belajar sama orang tua. Lumayan aja hasilnya buat beli token listrik," kata Sunarih, Kamis (3/8/2023).
Sejarah Singkat Tenun Gedogan
Tenun gedogan Indramayu memiliki sejarah panjang. Kerajinan membuat kain itu konon sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda.
Diceritakan budayawan Indramayu, Sulistijo bahwa tenun gedogan mulanya ramai dilakukan oleh warga di Kabupaten Indramayu. Sebab, kala itu masyarakat belum banyak memiliki pakaian berbahan kain. Dan cenderung masih memakai baju berbahan karung goni.
"Tenun itu tadinya ada di Kabupaten Indramayu. Karena waktu itu belum banyak kain untuk baju dan celana. Paling kencang warga punya sekitar 2 sampai 3 lembar baju kain," kata Sulis ditemui detikJabar.
Sebelum merebak, kuwu atau kepala desa bagikan bibit tanaman kapas ke warga. Agar hasil dari kapas itu bisa dijadikan benang untuk kemudian ditenun oleh para perajin.
"Jadi tanaman kapas itu ditanam di depan rumah, samping pesawahan, kebun-kebun. Nah kapas itu bisa dibuat benang. Tapi memang agak kasar bahannya," ujarnya.
Namun, seiring berkembangnya zaman, produksi kain mulai menyebar sehingga kebutuhan kain tenun berkurang. Meski, untuk jenis selempang atau tapih masih banyak dibutuhkan ketika itu.
"Tapi sekarang mulai berkurang. Bahkan tahun 2012 masih 3 orang yang tersisa. Sekarang hanya ibuSunarih aja yang masih memproduksi tapih atausewet tenun,"ungkapnya.
Alat Tenun Gedogan
Tenun Gedogan Indramayu masih menggunakan alat tradisional. Menurut budayawan Indramayu, Sulistijo bahwa tenun di Indramayu menggunakan dua jenis alat utama. Yaitu dengan cara duduk di kursi dan duduk dengan kaki selonjoran di antara alat tenun.
Saat ini, alat tenun bukan mesin itu sudah tidak dipergunakan. Bahkan, keberadaan alat tersebut sudah hilang. Sementara dengan cara duduk selonjoran masih digunakan oleh perajin.
"Ada dua jenis alatnya. Yang dipakai ibu Sunarih itu yang selonjoran. Tapi dulu ada tuh yang perajinnya sambil duduk," kata Sulis.
Setiap bagian komponen alat tenun memiliki nama tersendiri. Diantaranya, dayan, wulu, jinjingan, wlira, suri, por hingga apit.
Dari hasil suara yang ditimbulkan pada saat memproduksi kain itulah yang kemudian dijadikan sebagai nama tenun gedogan.
"Itu karena suara alatnya. Jadi nama aslinya mah gedog bukan gedogan, kan suaranya seperti itu, gedog-gedog-gedog," ujar Sulis.
Bentuk dan Motif Hasil Kerajinan Tenun Gedogan
Bentuk daripada kerajinan tenun gedogan Indramayu mulai terdapat dua bentuk utama. Yaitu berbentuk kain atau tapih dan sewet atau selempang.
Bentuk tapih umumnya berukuran panjang sekitar dua setengah sampai tiga meter. Dengan lebar kain mencapai lima puluh sentimeter lebih.
Kain bentuk tapih itu biasa digunakan untuk membuat baju komboran, kebaya anak perempuan dan ibu-ibu dan untuk menggendong anak hingga untuk nurubi (menutup) jenazah.
Sementara untuk sewet atau selempang biasa digunakan untuk membawa barang sampai untuk mengikat perut kaum laki-laki ketika melakukan aktivitas berat.
Namun, saat ini perajin hanya bisa memproduksi kain bentuk sewet. Ukurannya disesuaikan dengan jumlah sisir atau suri pada alat tenun.
"Iya sekarang paling hanya sewet aja," katanya.