Meniti Kejayaan Tenun Gedogan di Juntinyuat Indramayu

Meniti Kejayaan Tenun Gedogan di Juntinyuat Indramayu

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Kamis, 03 Okt 2024 07:00 WIB
Tenun gedogan Juntinyuat Indramayu.
Tenun gedogan Juntinyuat Indramayu. Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar
Indramayu -

Suara benturan kayu terdengar ramai di tengah padatnya permukiman di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Sejumlah ibu-ibu pun terlihat sibuk dengan benang dan alat tenun di hadapannya.

Tangannya yang keriput tampak masih kaku saat menenun kain. Bahkan sesekali ia harus membereskan benang atau bagian dari alat tenun agar pembuatan kain tenun gedogan tetap lancar.

Kesulitan menenun kain gedogan pun dirasakan Daskinah (56). Meskipun ia mengaku, tenun kain gedogan itu seringkali ia lihat sejak masih kecil. Namun sayangnya, minimnya ajakan belajar membuatnya hanya sebatas mengetahui tanpa menguasai kemampuan menenun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenal tuh dari SMP ya. Memang di sini tuh banyak yang bisa hampir setiap blok. Cuma karena nggak ada yang ngajari jadi ya cari peluang (kerjaan) lain," ujar Daskinah, Rabu (2/10/2024).

Apalagi kata Daskinah, tenun gedogan tempo dulu masih mengandalkan alat tradisional. Di mana penenun harus duduk selonjoran selama berjam-jam saat menenun kain.

ADVERTISEMENT

"Cuma sepintas tahu dari orang tua. Waktu itu kan cuma duduk ya jadi cape lah," ujarnya.

Kisah Daskinah pun seolah menjadi salah satu alasan punahnya tenun gedogan yang ada di Kecamatan Juntinyuat. Bahkan seperti diketahui, hanya tersisa beberapa penenun yang masih berupaya melestarikan tenun khas Indramayu tersebut.

Upaya pelestarian tenun gedogan tak lantas menjadi sirna. Terlebih setelah Sunari sang penenun yang masih bertahan itu mendapatkan satu unit alat tenun bukan mesin (ATBM) dari Pertamina RU VI Balongan.

Dengan alat itu, Sunari mencoba mengajak sejumlah ibu-ibu di sekitar agar kembali mencoba melestarikan tenun gedogan. Tak hanya mengenalkan setiap tahapan prosesnya, mereka pun diberikan kesempatan untuk memperlancar proses menenun.

"Iya minat, kayaknya praktis kalau pakai alat ini," lanjut kata Daskinah.

Sementara menurut Sunari, ibu-ibu yang minat belajar menenun hanya sekitar 7 orang. Meskipun mayoritas mereka sudah berusia lanjut.

Memang kata Sunarih, ibu-ibu itu baru diajarkan menenun dengan menggunakan ATBM. Bahkan, mereka belum bisa menyiapkan sejumlah proses sebelum menenun. Dari nglerek, ngelab dan proses awal lainnya.

"Ya cuma nenun aja gah, jadi kalau ada yang rusak ya ibu yang beresin. Misal nglerek ya ibu yang beresin," ujar Perajin Tenun Gedogan, Sunarih.

Meski begitu kata Sunarih, ia mengaku bersyukur. Sebab menurutnya kemauan dari para ibu-ibu itu sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kelestarian tenun gedogan.

"Alhamdulillah pada rajin. Kadang dari pagi sampai siang terus ada juga yang sore dilanjutin lagi," ucapnya.

Namun sayangnya kata Sunarih, keterbatasan alat dan pemasaran masih menjadi kendala untuk membumikan kembali tenun gedogan yang sempat berjaya.

(sud/sud)


Hide Ads