Permainan Tradisional Sunda, Ngadu Muncang: Sejarah, Alat hingga Jenis Kemiri

Permainan Tradisional Sunda, Ngadu Muncang: Sejarah, Alat hingga Jenis Kemiri

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Rabu, 15 Jan 2025 14:05 WIB
Pedagang biji kemiri atau muncang di Tasikmalaya
Biji kemiri atau muncang (Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar)
Bandung -

"Muncang labuh ka puhu, kebo mulih pakandangan" kata peribahasa dalam Sunda, artinya, buah kemiri jatuh ke pangkal pohonnya juga, kerbau pun pasti pulang ke kandangnya.

Peribahasa itu sering dimaknai tidak ada yang lebih enak daripada kampung halaman bagi orang-orang Sunda. Maka sejauh apapun mereka pergi, bagi banyak orang, kembali adalah hal yang pasti.

Tentu saja enak, sebab di kampung halaman, ada banyak kenangan dan kalangenan (permainan yang mengasyikkan), termasuk memainkan muncang yang menjadi peribahasa itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muncang atau kemiri di seluruh Jawa Barat sering dijadikan permainan. Caranya, muncang diadu. Tersebutlah permainan tradisional Ngadu Muncang.

Namun, tak sembarang muncang yang pantas untuk diadu. Sebab, hanya muncang-muncang yang berkulit keras yang akan menang di pengaduan. Ada jenis-jenis dampa, gindi, dan gendul. Meski merujuk pada jumlah muncang dalam sebuah cangkang, tapi istilah itu juga akan menjadi tanda kekuatan sebuah kemiri adu.

ADVERTISEMENT

Sejarah Ngadu Muncang

Dilansir detikJabar, dikutip dari berbagai literatur sejarah, ngadu muncang adalah kegemaran Raja Mataram, Sultan Agung. Dalam Jawa, namanya Aben Kemiri.

Hermanus Johannes de Graaf menuliskan tentang pemainan adu muncang ini. Menurutnya, permainan ini dikenal dengan mirobolani. Sultan Agung menurut dia mengharuskan beberapa orang mengikuti permainan ini.

Namun jika curang, Sultan tak segan untuk menghukumnya dengan cara memenggal kuda milik pemain curang itu.

Aktivitas adu muncang pada zaman dulu juga terabadikan dalam sebuah kartu pos koleksi KITLV 1402683 yang dicetak oleh J.L. van Dieten Jr. sebelum tahun 1902.

Pada foto tersebut, terlihat sejumlah warga terdiri atas orangtua dan anak-anak berkerumun, menghadap sebuah "pidekan" atau alat mengadu muncang.

Alat Permainan Tradisional Ngadu Muncang

Untuk memainkan adu muncang, perlu dipersiapkan bahan dan alat. Bahannya berupa muncang atau kemiri. Sementara alatnya adalah bilah bambu dan palu yang digunakan untuk mengepit dua muncang yang akan diadu dan palu untuk memukulnya.

Dikutip dari buku Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Jawa Barat, yang disusun Atik Sopandi, dkk. (Depdikbud RI, 1987), disebutkan bahwa untuk memaikan permainan tradisional adu muncang, perlu disiapkan:

1. Muncang/kemiri
2. Sebanyak 2 bilah bambu
3. Palu kayu (gaganden).

Kedua bilah bambu berbentuk panjang dan pipih, dengan ukuran antara 30-35 cm, lebarnya antara 4-6 cm.

Namun, bisa juga menggunakan sebilah kayu untuk alas dan sebilah bambu untuk mengepit dua muncang. Setelah muncang terjepit, bagian atas bambu bertepatan dengan posisi muncang itu dipukul dengan palu kayu. Muncang yang pecah dinyatakan pemiliknya kalah.

Dalam buku itu, dijelaskan pula muncang yang cocok untuk diadu, yaitu yang ukuran dan bentuknya menandakan kekerasan kulit muncang.

Yaitu, yang baik adalah yang cembung dan berkulit yang sangat keras, umumnya digunakan muncang gundu (tunggal) atau gendul dalam bahasa Sunda.

Saat Ngadu Muncang

Sebelum memulai permainan tradisional adu muncang, tidak ada upacara khsusus. Namun, diceritakan bahwa sering ada orang yang biasa membaca mantra-mantra (jangjawokan) agar muncangnya menang dalam permainan.

"Perlu dikemukakan di sini, bahwa muncang yang akan dipertandingkan biasa direndam lebih dulu dengan air cuka. Setelah direndam selama 3 hari 3 malam, kemudian dikeringkan dan terakhir digosok dengan kemiri yang telah dikuliti (kemiri bumbu)," tulis Atik Sopandi, dkk.

Jenis-Jenis Kemiri Adu

Muncang Adu ada berbagai jenis. Pada masa lampau, sebagaimana yang terdapat dalam kamus Sundadigi, ada tiga jenis muncang berdasarkan posisi tumbuhnya di dalam cangkang.

Pertama, muncang gendul yaitu yang isi muncang hanya satu dalam cangkangnya; Kedua, muncang dampa, yaitu yang dalam satu cangkang ada dua biji muncang; Ketiga, muncang gindi atau disebut juga sanilu, yaitu yang dalam satu cangkang di pohonnya, ada tiga biji muncang.

Ada pula muncang berdasarkan musim panennya. Pada penghujung musim panen, ada yang disebut muncang puncer. Yaitu, muncang yang terakhir pada sebuah musim.

Pada masa kini, jenis-jenis kemiri bukan lagi dinamai berdasarkan posisi tumbuhnya di dalam cangkang dan waktu tumbuhnya dalam sebuah musim panen, namun ada yang berdasarkan tempat tumbuh bahkan berasarkan nama pemilik pohonnya.

Tersebutlah Muncang Cariu yang berasal dari daerah Cariu; Muncang Kaliwiro; atau Muncang Jayanti.

Yang berdasarkan nama pemiliknya, misalnya Muncang Yakob, Muncang Munajat, dan Muncang Yanti. Ada pula nama muncang berdasarkan bentuknya, seperti Muncang Belut dan Muncang Mayit.

Bahaya Adu Muncang

Sebagai permainan tradisional, ngadu muncang tidak berbahaya, sebab itu hanya kalangenan saja. Namun, ngadu muncang menjadi bahaya jika sudah dibumbui perjudian.

Memang, pada awalnya, ngadu muncang adalah bentuk perjudian. detikJabar melansir, di dalam buku Tata Cara karya (Padmasustra, 1911:183) dijelaskan adu muncang sering disertai taruhan.

"Kêmiri pidak dipun palèpèt ugi nama kêbuk, lajêng dipun gêbag ing kênul, punika kasukanipun tiyang sêpuh, totohanipun rupiyahan. Kêmiri sambêl dipun sabêtakên ing tangan, gêntos nyabêt, pundi ingkang pêjah kawon, punika kasukaning lare, totohanipun namung dhuwitan".

Arti dari kutipan bahasa Jawa itu adalah "Kemiri disebut juga kebuk, lalu dipukul di leher, itu kesukaan orang tua, taruhannya rupiah. Kemiri sambal ditaruh di tangan, bukan dipukul, dimana yang mati adalah kesayangan anak, taruhan satu-satunya adalah uang".

Baru-baru ini di Kabupaten Sumedang, polisi meringkus 17 orang yang kedapatan memainkan judi adu muncang, sebagaimana dilansir detikJabar, 16 Juli 2024.




(tey/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads