Pemuda di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat kembali membangkitkan tradisi nonton film layar tancap. Salah satu hiburan yang paling meriah di zaman dulu itu kembali digunakan untuk sarana edukasi melalui film dokumenter lokal dan film festival.
Malam itu, layar dari kain putih berukuran panjang 5 meter dengan lebar 3 meter terbentang di antara kios depan Pasar Jatibarang, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Sebuah proyektor di hadapannya disiapkan untuk memutar film.
Menurut koordinator Layar Ketiga, Try Utomo Rubiyanto, pagelaran layar tancap ini merupakan agenda yang mulai digencarkan di tempat yang berbeda-beda (keliling). Biasanya, hiburan yang ternama zaman dulu itu memutar film dokumenter lokal dan film dari festival local wisdom. Seperti film berjudul Turah, Dulu X Hari Ini Toraja, Sumirah, dan film dokumenter Bangku Teles.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Film yang diputar dalam acara Layar Ketiga bukan sembarang film, tetapi film-film pilihan berdasarkan pertimbangan tim kreatif divisi film Yayasan Rumah Kreatif Indramayu," kata Try Utomo Rubiyanto kepada detikJabar, Minggu (5/2/2023).
![]() |
Ketika malam semakin larut, kesenian budaya Indramayu yang ditampilkan seperti tari topeng, teater, pentas musik dan pasar lokal itu seolah membius warga yang tak sabar bernostalgia menonton layar tancap. Sajian kacang dan ubi rebus dengan secangkir kopi menemani mereka yang larut pertunjukan film di layar tancap.
"Kayak zaman bengen cah, enakan. (Kayak zaman dulu, enakan)," ujar ibu-ibu di antara penonton layar tancap.
Pemutaran film ini merupakan kali ketiga yang dilakukan tim Layar Ketiga. Bukan sekedar menampilkan kembali hiburan rakyat. Melainkan kegiatan yang didukung oleh Kemendikbud, Dana Indonesiana, dan LPDP itu menjadi sarana edukasi bagi masyarakat termasuk kalangan pemuda di Indramayu.
Dari film tentang konflik, sosial, dan maupun film yang diangkat dari kisah nyata itu terdapat inspirasi berharga yang bisa dipelajari. Bahkan, lebih dari itu, diharapkan para penonton bisa menggali potensi daerah serta mencari solusi atas persoalan yang ada di daerahnya.
"Film-film yang kami putar dimaksudkan agar antar masyarakat bisa berempati terhadap kondisi di daerah. Dari situ kita berharap, masyarakat bisa saling gotong-royong membantu memecahkan masalah atau setidaknya meringankan beban masyarakat di daerah lain. Ini upaya kecil untuk menciptakan jaring-jaring sosial," kata Tim Layar Ketiga, Afud.
Afud menegaskan bahwa jangan sampai warisan budaya gotong-royong hilang dari masyarakat. Jangan sampai masyarakat menjadi tidak peduli terhadap satu sama lain. Karena bagi Afud, gotong-royong adalah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan masyarakat dari segala krisis.
Malam pun semakin larut, namun para penonton dari berbagai kalangan itu tetap terjaga sambil melakukan diskusi ringan sebelum menutup acara layar tancap tersebut.
(yum/yum)