Cerita Euis dan Bayi Korban Pergerakan Tanah Bertahan di Tenda Pengungsian

Cerita Euis dan Bayi Korban Pergerakan Tanah Bertahan di Tenda Pengungsian

Siti Fatimah - detikJabar
Senin, 23 Des 2024 16:30 WIB
Euis dan bayinya saat di pengungsian
Euis dan bayinya saat di pengungsian (Foto: Siti Fatimah/detikJabar).
Sukabumi -

Di bawah tenda pengungsian yang panas dan berdebu, Euis Nurhayati (40) berusaha menenangkan bayinya, Nuansa Aluna Putri, yang baru berusia sembilan bulan. Sudah hampir tiga minggu Euis bersama keluarga kecilnya tinggal di tenda darurat setelah rumah mereka di Desa Lembursawah, Kecamatan Pabuaran, Sukabumi, tak lagi aman akibat bencana pergeseran tanah.

Meski kebutuhan pokok seperti popok bayi masih terpenuhi, Euis mengaku, kesulitan mendapatkan susu formula yang sesuai untuk Aluna. "Ini kan susunya sufor full, nggak dibantu ASI. Kemarin mau beli yang untuk usia 6-12 bulan, katanya kosong," keluh Euis sambil menyeka keringat di dahi anaknya.

Euis menceritakan betapa sulitnya malam-malam pertama di pengungsian. "Aluna nangis terus, nggak berhenti-berhenti, sampai nggak bisa tidur sama sekali. Tidur sebentar, bangun lagi. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah mulai terbiasa," katanya dengan senyum tipis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, kesehatan bayi kecilnya pun menjadi perhatian. Euis mengatakan, bayinya sempat mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya.

"Kondisi Aluna sehat, tapi kemarin sempat muncul bintik-bintik di kulitnya. Sampai sekarang belum sembuh total, meski sudah dikasih obat salep dan bedak," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Pergeseran tanah di kampung mereka sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun kondisinya semakin memburuk. "Kerusakan rumah itu bertahap. Ada 17 rumah yang awalnya rusak duluan. Tapi cuaca sekarang kan parah banget, hujan dua hari dua malam itu memperparah," jelas Euis.

Dia masih teringat malam saat longsor besar itu terjadi. "Bunyinya seperti pesawat jatuh, kaget banget. Rumah saya dekat tebing, jadi longsornya dua kali kena. Malam itu kami langsung dievakuasi ke tenda," kenangnya.

Awalnya Euis ingin bertahan di rumahnya, namun akhirnya ia mengalah setelah petugas memintanya untuk segera mengungsi bersama anak-anak. "Saya takut juga, curah hujannya tinggi banget. Jadi ya, akhirnya ikut ngungsi," ujarnya.

Kehidupan di pengungsian tidak mudah bagi seorang ibu dengan bayi. "Popok bayi aman, tapi pakaian ya seadanya. Air bersih juga kurang memadai, kadang ada, kadang nggak. Apalagi kemarin mati lampu, nggak ada air sama sekali," ungkap Euis.

Saat ini, dia hanya berharap pemerintah segera memberikan solusi agar mereka bisa pindah ke tempat yang lebih aman. Di pengungsian ini, Euis tidak sendirian. Ada 297 kepala keluarga (KK) atau 987 jiwa lainnya yang terdampak bencana pergeseran tanah dan 385 jiwa lainnya mengungsi di tenda pengungsian.

Meski mereka terus berjuang, rasa lelah dan kekhawatiran tetap menghantui, terutama saat musim hujan seperti sekarang. Namun, di tengah segala keterbatasan dan tantangan, Euis tetap berusaha tegar untuk Aluna dan keluarganya.

"Harapannya sih kalau bisa secepatnya direlokasi. Kalau memang harus dapat rumah pengganti, inginnya secepatnya. Alhamdulillah, kami masih diberi keselamatan," tutupnya.




(mso/mso)


Hide Ads