Cerita Jenaka 3 'Orang Gila' yang Melegenda di Bandung

Lorong Waktu

Cerita Jenaka 3 'Orang Gila' yang Melegenda di Bandung

Rifat Alhamidi - detikJabar
Kamis, 13 Jun 2024 06:31 WIB
Jembatan Layang Pasupati terlihat dari Jalan Cihampelas, Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/2/2022). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengganti nama Jembatan Layang Pasupati menjadi Jalan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja yang merupakan tokoh penggagas wawasan nusantara. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.
Jemabatan Mochtar Kusumaatmadja (Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI).
Bandung -

Bandung sebagai kota metropolitan kini sudah menjadi magnet bagi banyak orang. Setiap akhir pekan, wilayah berjuluk Kota Kembang ini hampir tak pernah sepi dikunjungi wisatawan untuk sedekar liburan, berburu kuliner, atau hanya sekedar melepas penat dari sibuknya pekerjaan.

Namun puluhan tahun silam, sebelum Bandung ramai diburu wisatawan untuk liburan, ada sebuah cerita jenaka yang hikayatnya melegenda di kalangan warga. Cerita tersebut dituangkan Sudarsono Katam dalam bukunya berjudul Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis: Sebuah Wisata Sejarah.

Disadur detikJabar, Rabu (12/6/2024), Sudarsono Katam menuliskan cerita tentang 3 orang yang disebutnya mengalami sakit ingatan pada medio 1950-1960an. Mereka adalah Nurmi 'Pak Mayor', Haji 'Wek Dut' dan Joy 'Blegbeg', yang dituangkan khusus pada bab Perempuan Bandung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nurmi 'Pak Mayor'

Dimulai dari nama Nurmi 'Pak Mayor'. Katam mengatakan, julukan 'Pak Mayor' disematkan kepada Nurmi karena kelakuannya yang begitu centil setiap kali melihat pria tampan. Maka tak jarang, apabila ada pria tampan yang dijumpainya, Nurmi akan mengerek dan menjawil pria tersebut sembari mengatakan 'Pak Mayor, Pak Mayor'.

Konon, kata Katam, julukan 'Pak Mayor' yang disematkan kepada Nurmi karena ia dulunya merupakan istri tentara yang berpangkat Sersan Mayor. Tapi kemudian, sang Sersan Mayor meninggalkan Nurmi begitu saja tanpa alasan.

ADVERTISEMENT

"Rasa kehilangan itu menyebabkan dia sakit ingatan dan kerinduannya terhadap sang Sersan Mayor yang menyebabkan dia selalu menjawil tiap lelaki tampan disertai rengekan "Pa Mayor"," tulis Sudarsono Katam dalam bukunya.

Dalam bukunya Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis sebuah Wisata Sejarah, Sudarsono Katam, menuturkannya. Menurut Katam, saat usianya berusia 12 tahun, sekitar tahun 1950-1960, ada tiga orang gila yang terkenal di Bandung. Dua orang laki-laki, satu perempuan.

Pada arsip pemberitaan detikcom, Sudarsono Katam pun punya kenangan pribadi terhadap sosok Nurmi 'Pak Mayor'. Dalam wawancara pada Maret 2008, Katam menyebutkan bahwa Nurmi merupakan orang dengan gangguan jiwa paling humanis di Bandung saat itu.

"Orang gila yang paling humanis adalah Nurni. Mungkin saat itu usianya kepala 3," ujar Sudarsono Katam dalam wawancara bersama detikcom di kediamannya, Jl Tanjung No 1, Selasa (4/3/2008).

Sosok Nurmi 'Pak Mayor' terkenal hingga seantero Bandung. Orang-orang pada zaman itu pasti banyak yang familiar dengan namanya mulai dari alun-alun, Cicadas, Andir, Tegallega hingga wilayah Sukajadi.

Nurmi pun digambarkan Katam berperawakan pendek, putih dan cantik. Rambutnya keriting sebahu, dan dia selalu berpakaian mencolok. Terkadang, dia mengenakan baju merah yang dipadankan dengan celana hijau. Tapi, ciri khasnya, Nurmi selalu pakai kaos kaki hingga sebetis.

Jika ada lelaki tampan, Nurmi memang akan merengek kecentilan sembari mengeluarkan rayuan andalannya, 'Pak Mayor'. Meski terbilang tidak agresif dan hanya kerap bicara sendiri, Nurmi adalah tipikal orang yang akan mengamur jika ada anak kecil yang mengganggunya.

Namun, dibalik cerita kejenakaannya, ada kisah tragis yang dialami Nurmi 'Pak Mayor'. Katam dalam bukunya menyebut, menjelang akhir hayatnya, Nurmi diperkosa hingga hamil dan melahirkan sendiri anaknya di sebuah bangunan bengkel tua di Jalan Sukabumi.

Bengkel ini pun kerap dipakai Nurmi untuk beristirahat ketika sudah menjelang malam. Yang tragis, sekitar tahun 1960-an, karena kondisinya yang menurun, Nurmi akhirnya meninggal dunia.

"...Konon anaknya diselamatkan seseorang. Tidak lamá setelah itu, kondisi kesehatannya menurun dan jarang terlihat di jalan-jalan sampai dikabarkan meninggal di bangunan bengkel yang sama ketika diperkosa dan melahirkan anak...," tulis Katam dalam bukunya.

Memori ini pun amat membekas di benaknya Katam. Bahkan dalam wawancara dengan detikcom saat itu, ia menyebut bahwa peristiwa yang dialami Nurmi merupakan kejadian yang tragis. "Ada yang bilang katanya diadopsi, tahu tidak jelas juga. Nasib Nurni memang sangat tragis," lirih Katam.

Joy 'Blegbeg'

Orang dengan gangguan jiwa kedua yang namanya melegenda di Bandung yaitu Joy 'Blegbeg'. Katam dalam bukunya mengatakan, Joy berperawakan tinggi dan konon bercita-cita ingin menjadi seorang dalang.

Namun entah kenapa, Joy 'Blegbeg' pun akhirnya mengalami gangguan jiwa. Jika ia kumat, Joy kerap menyelipkan ibu jari di antara jari manis kedua dan ketiga, layaknya tokoh wayang Bima yang juga digam barkan bersosok tinggi besar diiringi ocehan 'Joy Blegbeg, Joy Blegbeg'.

"Cita-citanya jadi dalang. Setiap kali mendalang, jempolnya diselipkan di antara telunjuk dan jari manis, seperti tokoh Bima," tutur Katam dalam arsip pemberitaan detikcom.

Haji 'Wek Dut'

Nama terakhir adalah Haji 'Wek Dut'. Katam menggambarkan orang dengan gangguan jiwa ini kerap mengenakan kopiah haji dan berpakaian compang-camping. Nama Haji Wek Dut pun disematkan karena jika orang tersebut kumat, ia akan menunjukkan gestur yang membuat orang keheranan.

"...karena ketika "kambuh" selalu mempertontonkan telapak tangan yang ditumpangkan sambil menggerak-gerakkan kedua ibu jari disertai Ocehan "Wek Dut.. Wek Dut.."," begitulah cerita Sudarsono Katam dalam bukunya Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis: Sebuah Wisata Sejarah.

Kenangan Katam terhadap Haji Wek Dut pun tergambar dalam arsip pemberitaan detikcom. Sayangnya, pada tahun 1960-an, Haji Wek Dut maupun Joy Blegbleg tak terlihat lagi mewarnai cerita warga Bandung pada zaman itu.

(ral/mso)


Hide Ads