Kisah Sunan Burung Baok yang Melegenda di Garut

Lorong Waktu

Kisah Sunan Burung Baok yang Melegenda di Garut

Rifat Alhamidi - detikJabar
Sabtu, 01 Jun 2024 08:30 WIB
Ilustrasi Sunan Burung Baok
Ilustrasi Sunan Burung Baok (Foto: Canva AI image generated)
Bandung - Wilayah Garut pernah memiliki sebuah kerajaan di bawah kendali kepemimpinan Raja Padjajdaran, Prabu Siliwangi. Kerajaannya bernama Timbangten dengan daerah kekuasaan yang tak begitu besar dan hanya berusia hitungan tahun.

Menurut catatan, bekas Kerajaan Timbangten memang begitu sulit ditemukan. M Ryzki Wiryawan dalam bukunya berjudul Pesona Sejarah Bandung: Bandung Hingga Awal Abad ke-20 menulis bahwa peninggalan kerajaan yang ditemukan selain makam, ada miniatur meriam berbahan kuningan, keris, tombak besi, perabitan untuk membuat kertas hingga kain boeh rarang yang dikeramatkan masyarakat.

Namun kemudian, Ryzki Wiryawan mencatat sebuah cerita rakyat atau folklor yang melegenda tentang raja pertama Kerajaan Timbangten. Raja tersebut bernama Sunan Burung Baok, yang menurut Wawacan Babad Timbangten merupakan anak Prabu Siliwangi dari hasil pernikahannya dengan jin.

Penamaan Sunan Burung Baok berdasarkan legendanya, didasari karena seluruh tubuhnya diceritakan dipenuhi bulu bagaikan seekor burung. Meski begitu, kesaktiannya tak perlu diragukan yang salah satunya bisa menembus bumi untuk sampai ke tempat tujuan yang ingin ia singgahi.

Berdasarkan tulisan Ryzki yang mengutip buku Sastra Lisan Sunda (1978) karya Yus Rusyana dan Ami Raksanegara, meski sakti mandraguna, Sunan Burung Baok merupakan raja yang zalim. Kondisi ini lalu menimbulkan kegelisahan dari sesepuh-sesepuh di Kerajaan Timbangten, salah satunya bernama Dalem Pasehan.

Tak mau menunggu lama, Dalem Pasehan lantas mengadukan kondisi ini ke Prabu Siliwangi. Raja Pajajaran itu kemudian mengeluarkan perintah kepada Dalem Pasehan yang berbunyi Sunan Burung Baok harus dibunuh tanpa menumpahkan darah.

Perintah ini langsung dilaksanakan Dalem Pasehan. Rencana pembunuhan itu lalu diatur, dan kebetulan di pinggi Sungai Ci Manuka da sebuah gua yang dinilai cocok menjadi tempat eksekusi sang Raja Timbangten.

Dalem Pasehan lalu menyusun sandiwara kepada Sunan Burung Baok bahwa di dalam gua tersebut terdapat ular sanca yang berbahaya. Sunan Burung Baok pun diminta untuk membunuh ular itu yang sejatinya hanya akal-akalan saja.

Merasa ditantang, Sunan Burung Baok lalu menunjukan kesaktiannya. Sebelum masuk ke gua itu, ia menanggalkan pakaiannya untuk menjalankan misi yang disampaikan Dalem Pasehan. Setelah masuk ke gua, Dalem Pasehan lantas menutup gua itu menggunakan batu.

Sekian lama mencari, Sunan Burung Baok tidak menemukan ular yang diceritakan. Ia lalu menyadari sudah dijebak Dalem Pasehan yang membuat Sunan Burung Baok Murka. Dengan kesaktiannya, ia lalu menembus bumi dan tiba di hadapan Prabu Siwilangi di Kerajaan Pajajaran.

Di hadapan ayahandanya, Sunan Burung Baok lantas bercerita telah dijebak Dalem Pasehan. Prabu Siliwangi langsung memanggil Dalem Pasehan dan melampiaskan kemurkaannya kepada sang dalem.

Ternyata, perintah Prabu Siliwangi salah diartikan Dalem Pasehan. Prabu Siliwangi meminta supaya mencari raja pengganti Sunan Burung Baok yang memang terkenal zalim saat memimpin Kerajaan Timbangten. Karena sudah salah penafsiran, Dalem Pasehan pun meminta maaf sembari menyerahkan putrinya bernama Inten Dewata kepada Prabu Siliwangi untuk dinikahi.

Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak bernama Permana Dipuntang. Konon, Permana Dipuntang ini lah yang akan menggantikan Sunan Burung Baok menjadi penguasa di Timbangten.

Selain itu, konon, Permana Dipuntang juga menginspirasi penamaan sejumlah daerah di Garut. Salah satu contohnya saat Prabu Siliwangi memerintahkan Dalem Pasehan membawa Permana Dipuntang kecil ke Timbangten dengan cara menembus bumi, lokasi kemunculan mereka kemudian dinamakan daerah Munjul yang artinya tempat keluar dalam tanah.

Kemudian, Dalem Pasehan dan Permana Dipuntang duduk di sebuah gunung yang sekarang wilayah itu dinamakan Pangcalikan. Ada juga legenda, karena Permana Dipuntang tak mau digendong dan memilih jalan sambil berpegangan kepada rotan, gunung tersebut akhirnya dinamakan Gunung Puntang (pegang). (ral/orb)



Hide Ads