Kaki Sarifudin (53) menjejak pedal mesin jahit, konstan mengatur kecepatan. Sementara mata dan tangannya fokus pada kain dan jarum seraya mengontrol ritme pedal sesuai dengan kebutuhan.
Sarifudin adalah seorang penjahit keliling. Selayaknya perjalanan hidup ia pernah merasakan pahit, getir dan manisnya menjadi seorang kepala keluarga. Setiap rintangan dihadapi Sarifudin dengan kepala tegak dan semangat yang tak kenal lelah.
Baca juga: Kembang Gula Ebo yang Tawarkan Nostalgia |
Menurutnya, setiap tantangan adalah pelajaran berharga yang membuatnya semakin kuat demi menafkahi keluarganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun 1988 bekerja di konveksi, di Jakarta. Jadi memang sudah ada latar belakang keahlian (menjahit) di sana, namun tahun berapa saya lupa tepatnya perusahaan itu bangkrut akhirnya saya pulang kampung," kata Sarifudin .
Selepas tidak bekerja di konveksi, Sarifudin menjajal nasibnya di Sulawesi Utara, tepatnya di Kota Bitung menjadi seorang penjual martabak. Perjalanan waktu akhirnya mengantar Sarifudin pulang ke kampung halamannya. Tahun 2000 dia menjajal nasib di bidang yang digeluti sebelumnya, membuka konveksi. Ia pertaruhkan semua modalnya untuk membuka usaha tersebut.
Sempat berjalan beberapa lama nasib kurang baik kembali menghampirinya, usaha Sarifudin gulung tikar. Utangnya menggunung, langkah usahanya terseok akibat banyaknya klien yang melakukan penipuan.
"Usaha bangkrut, ceritanya buka konveksi di tahun 2000 buka usaha sendiri lah ya. Awalnya kecil-kecilan, terus membesar, usaha berkembang. Tapi hanya beberapa tahun, banyak pemesan yang saya percaya, tahunya enggak pada bayar, orangnya hilang. Sampai bangkrut total habis modal, banyak utang buat operasional," lirihnya.
Tidak hanya itu, ia harus merelakan tanah dan rumahnya dijual untuk menutupi utang. Nasib kembali membawanya jatuh ke titik terendah. Namun dengan tekad kuat, Sarifudin putar otak, ingatannya menerawang saat masih bekerja di Jakarta dahulu.
"Jadi di Jakarta itu dulu kan banyak tukang jahit keliling mereka pakai motor. Akhirnya saya beranikan pinjam motor ke tetangga, alhamdulillah dikasih itu sekitar tahun 2010 awet sampai sekarang," ungkapnya.
Sarifudin merakit sendiri mesin jahit miliknya berbekal ingatannya dahulu saat melihat penjahit keliling di Ibu Kota. 2011 ia mengambil motor secara kredit, motor metik warna putih itu setia menemaninya hingga kini.
"13 tahun ditemani motor ini. Sekarang-sekarang sudah mulai sering rusak maklum namanya juga motor matic keluaran jadul. Meskipun begitu motor ini sudah menemani saya selama ini, sekarang buat makan buat dapur, enggak kekurangan. Tiga anak perempuan tamat sekolah SMA dua sudah menikah yang bungsu kerja di Jakarta," kata Sarifudin.
"Ingin punya motor baru tapi ya gimana ya, yang penting motor yang ada masih bisa dipakai. Syukuri saja yang ada, sekarang Alhamdulillah rumah sudah punya lagi, kecil-kecil juga yang penting bahagia dengan istri di rumah," sambungnya.
Pekerjaan menjahit Sarifudin tuntas, sejumlah upah ia terima. Menurutnya sehari dia bisa mendapat 5 sampai 10 pelanggan dan membawa uang untuk istrinya. "Sehari lumayan cukup buat dapur, setiap hari bekeliling dari Palabuhanratu, Citepus, Cimaja sampai Cisolok. Kalau menjelang sore saya pulang," tutupnya.
Jempolnya menekan tombol starter, mesin motornya menyala. Terdengar bunyi mesin motor miliknya yang berisik, selepas itu Sarifudin-pun melaju.
(sya/mso)