Matahari terik membakar pesisir Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Rabu (8/1/2025) siang. Mulyadi, seorang pria berusia 51 tahun, melangkah tenang di atas pasir yang masih basah. Tangannya yang kasar memegang erat jala yang sudah tak asing lagi baginya. Ombak besar berkali-kali menghempas tubuhnya, namun ia tetap bertahan, seakan tak gentar.
Bagi Mulyadi, laut adalah segalanya ibarat teman, sahabat, sekaligus sumber penghidupan yang tak pernah ia abaikan. Warga Kampung Gunung Butak, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, ini sudah bertahun-tahun bergelut dengan ombak untuk menghidupi keluarganya. Setiap pagi, ia turun ke laut, menebar jala di perairan yang kaya akan ikan.
Jika hari itu ia beruntung, satu karung kecil ikan loang atau bawal putih bisa ia bawa pulang, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, jika hasil tangkapan tak memadai, hanya lima ekor ikan yang ia dapatkan, cukup untuk dimakan bersama orang-orang tercinta di rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sedang musim, banyak ikan yang bisa ditangkap. Tapi kalau lagi sepi, ya syukur-syukur dapat buat makan," ujarnya sambil tersenyum, menunjukan tiga ekor ikan loang yang ia simpan dalam karung plastik kecil.
Rasa syukur selalu menyertai kehidupan Mulyadi. Baginya, laut adalah berkah yang harus dijaga. Ia percaya, alam selalu memberi, selama manusia tahu cara untuk menghormatinya.
"Laut ini yang memberi saya makan, saya nggak pernah mengeluh meskipun hasilnya sedikit. Yang penting cukup untuk keluarga," katanya dengan penuh keyakinan.
Teluk Palabuhanratu, tempat Mulyadi mencari nafkah, dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan hayati laut yang melimpah. Selain ikan loang, perairan ini juga menjadi rumah bagi ikan kakap, kerapu, layur, bawal hitam, pari, udang, hingga cumi-cumi. Keberagaman biota laut ini bagi para nelayan, seperti Mulyadi, adalah anugerah yang tak ternilai.
![]() |
Namun, Mulyadi tak hanya melihat laut sebagai sumber nafkah. Bagi pria ini, laut adalah sahabat yang harus dihormati. Ia kerap mengingatkan anak-anak muda di kampungnya untuk tidak serakah dalam mengambil hasil laut.
"Ambil secukupnya saja, jangan rakus. Kalau laut rusak, kita juga yang susah," tuturnya.
Meski usia kini tak lagi muda, Mulyadi tetap semangat menebar jala, berjalan dengan kaki telanjang, mengarungi gelombang laut yang terus bergejolak. Ia menjalani hidup yang penuh dengan rasa syukur dan pengabdian kepada alam.
"Selama laut masih ada, selama itu juga rezeki tidak akan berhenti. Kita hanya perlu menghormatinya," ujar Mulyadi, matanya yang tajam memandang cakrawala, di mana laut dan langit seolah menyatu dalam kebersamaan.
Di rumah, Mulyadi tahu bahwa anak dan dua istrinya menunggunya. Ikan-ikan yang ia tangkap hanya untuk menjadi hidangan sederhana bagi keluarganya. Pagi ke pesisir teluk, ia akan pulang menjelang tengah hari. Namun, jika berangkat tengah hari, tak jarang ia pulang di malam hari, tepatnya sekitar pukul 21.00 WIB.
"Ambil ikan tiap hari, pagi sampai siang. Kalau sore, kadang sampai jam 21.00 WIB malam. Ombak di sini arusnya kuat, besar arusnya. Biasanya hari-hari biasa tidak pasang atau surut itu sampai ke sana surutnya," lirih Mulyadi, jarinya menunjuk 50 meter ke arah tengah.
Setelah beberapa jam, Mulyadi akhirnya menepi. Ia rapikan jala yang selama ini setia menemaninya beraktivitas di Teluk Palabuhanratu.
"Sudah waktunya pulang, keluarga sudah menunggu di rumah," lirihnya, matanya mengarah ke rumah yang tak jauh dari pesisir. Langkah kakinya mantap meninggalkan pesisir, menyisakan jejak-jejak kaki di pasir yang basah oleh ombak yang terus bergulung.
(sya/yum)