Nestapa Kampung Dewata Kala Longsor Benamkan Puluhan Nyawa

Jabar X-Files

Nestapa Kampung Dewata Kala Longsor Benamkan Puluhan Nyawa

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Minggu, 19 Mei 2024 16:00 WIB
Ilustrasi longsor (Andhika-detikcom)
Ilustrasi longsor. Foto: Ilustrasi longsor (Andhika-detikcom)
Bandung -

Pada 23 Februari 2010 silam, kala itu waktu masih menunjukkan pukul 08.00 WIB. Tak ada yang menyangka maut bakal menjemput warga dan para pemetik teh di tebing Gunung Waringin tepatnya di Perkebunan Dewata, Desa Tenjolaya, Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Sekitar 14 tahun yang lalu, longsor setinggi 300 meter dan lebar 100 meter menimbun sebanyak 50 rumah jenis panggung milik warga RW 18, Kampung Dewata. Longsor itu terjadi di perkebunan teh Dewata yang dikelola oleh PT Kabepe Chakra.

Memori kelam itu sempat diceritakan oleh Sriyati. Saat itu, ia dibuat terkejut mendengar suara gemuruh dari luar rumahnya yang ternyata adalah longsoran tanah tebing Gunung Waringin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pukul 8.10 WIB saya di luar rumah, saya kira suara gemuruh itu suara kebakaran pabrik," kata Yati, saat perjalanan ke pengungsian.

Ia bersama suaminya, Suryana dan dua anaknya telah mendiami bedeng yang dibuat perusahaan PT Kabepe Chakra sejak 38 tahun lalu. Kejadian tersebut merupakan yang pertama kalinya.

ADVERTISEMENT

Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba tebing itu menggelontor ke pemukiman warga yang rata-rata pekerja di perkebunan teh. Tanah longsor secara bergelombang menerjang rumah para pekerja Perkebunan Teh Dewata.

Musibah tersebut membuat Yati kehilangan menantu dan cucunya. Selain itu, duka juga menyelimuti Kaep, teknisi pabrik teh PT Kabepe Chakra, dan Umar salah seorang karyawan pabrik. Keduanya kehilangan istri tercinta.

Kala itu, Kaep mendengar suara gemuruh tiga kali dalam waktu yang hampir bersamaan sebelum longsor terjadi. Ia pun langsung membawa dua anaknya ke sisi bukit Gunung Waringin yang tidak terkena longsor.

Ayah dan dua anaknya itu selamat. Namun tidak dengan istrinya, Ida yang bekerja sebagai pengasuh petugas administrasi kebun teh.

Kepedihan juga menyandra Umar. Karyawan pabrik ini sempat melihat istrinya, Enyi sebelum terkubur longsor. Kala itu ia sedang sedang di kebun dan melihat longsor begitu cepat datang. Longsoran pertama dan kedua, timbunan tanah tidak sampai ke rumahnya. Namun, siapa sangka longsoran terjadi untuk ketiga kalinya.

"Saya sempat lega karena rumah tidak kena. Saya langsung teriak-teriak, suruh istri keluar rumah. Saya sempat lihat dia di pintu belakang, tetapi masuk lagi. Setelah itu longsor lagi, langsung menimbun rumah. Saya lari ke atas," cerita Umar.

Dari data yang dihimpun di Kecamatan Pasir Jambu, terdapat 27 bangunan yang tertimbun longsor yakni pabrik pengolahan teh, koperasi, kantor administrasi, GOR, dan rumah pegawai administrasi.

Kejadian tersebut diketahui menelan puluhan korban jiwa. Sampai sepekan pencarian, diyakini ada 11 jenazah yang masih belum ditemukan dan diperkirakan masih tertimbun longsor.

Di hari akhir pencarian pada 1 Maret 2010, tercatat sebanyak 44 jiwa meninggal dunia akibat longsor dan jumlah tak terhitung untuk korban luka-luka. Korban meninggal di antaranya sebanyak 13 orang laki-laki, 19 orang perempuan, dan 12 anak-anak.

"Hari ini evakuasi terakhir diputuskan berhenti jam 12.00 WIB. Sampai dengan hari ini pukul 12.00 WIB tim tidak menemukan jasad yang masih tertimbun logsoran," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat, Udjwalprana Sigit, saat ditemui di lokasi longsor, Senin (1/3/2010) lalu.

Saat kejadian, sebanyak 800 orang pemetik teh, administrasi, dan mekanik pabrik pun kemudian diungsikan. Sebagian warga kemudian dievakuasi ke PT Gambung Agro Lestari.

Selama proses evakuasi, para petugas terkendala dengan medan dan cuaca. Jalan di TKP tersebut harus menempuh kurang lebih 20 kilo meter dari Jalan Raya Ciwidey. Pada kiri dan kanan jalan pun masih berupa semak belukar.

Kondisi jalanan masih berupa bebatuan dan berpasir, serta menanjak. Lebar jalan pun hanya bisa dilewati oleh dua mobil. Bahkan, proses pencarian korban kala itu dihentikan setiap menjelang maghrib.

Sebab, longsor begitu dahsyat membuat tiang-tiang listrik bertumbangan. Tak hanya itu, sebuah trafo berukuran besar juga terlempar sekitar 30 meter dari titik longsor.

Akibatnya, penerangan sama sekali tidak ada. Minimnya penerangan di sekitar titik longsor menyulitkan relawan dan polisi untuk melakukan pencarian korban.

Salah satu penyebab longsor itu diketahui karena adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman warga. Hal itu disampaikan oleh Kepala Bagian Geologi Kementrian Sumber Daya dan Mineral, Sukhyar.

"Dari fakta yang didapat, salah satu pemicu longsor adalah adanya alih fungsi lahan. Padahal prinsipnya, daerah tebing atau kaki gunung tak boleh dihuni," ujarnya Rabu (24/2/2010) lalu.

Sukhyar juga mengatakan seharusnya setiap daerah dapat menata pemanfaatan ruang, terutama di daerah longsor tersebut. "Harus dipertimbangkan kerapatan hunian di daerah seperti itu (daerah longsor-red)," ujarnya.

Jabar X-Files merupakan rubrik khas detikJabar yang menyajikan beragam kejadian kriminal atau kejadian luar biasa yang pernah menyita perhatian publik.

(aau/sud)


Hide Ads