Bau busuk dan anyir menusuk hidung kala menjejakkan kaki di area TPA Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Pemandangan sampah yang menggunung tersaji di depan mata.
Rasa mual tak bakal bisa ditahan bagi orang biasa yang datang ke tempat pembuangan sampah terbesar di Bandung Raya itu. Namun bukan soal bagi supir dan pemulung yang mengais rezeki dari sampah rumah tangga itu.
Salah satunya Nenih (55). Tanpa mengenakan masker, ibu dua anak itu tampak fokus membongkar tumpukan sampah di dekat deretan truk yang sedang parkir menunggu giliran menurunkan muatan sampah.
"Ya gini aja, lagi cari-cari rongsokan buat dijual lagi. Tapi dikumpulkan dulu baru nanti disetor," kata Nenih membuka perbincangan dengan detikJabar belum lama ini.
Nenih sama sekali tak tertekan apalagi mual dengan bau tak sedap dari sampah yang sudah menggunung di belakang. Tak heran, karena wanita asal Cililin itu sudah 10 tahun lebih menjadi pemulung di TPA Sarimukti.
Nenih tak bisa mengeluh, ia terpaksa melakoni profesi yang dipandang sebelah mata dan menjijikan bagi orang kebanyakan. Kalau tak memulung, ia tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ibu sudah 10 tahun lebih mulung di sini. Dulunya kerja bantu-bantu nyuci di tetangga. Tapi emak sama bapak meninggal, terus suami nggak ada (pergi)," kata Nenih lirih.
Namun Nenih pantang meneteskan air mata apalagi mengutuk takdir. Ia setia menjalani hari demi hari meskipun ada dalam jerat kemiskinan. Bahkan anaknya tak ada yang sekolah.
"Anak ibu nggak sekolah, yang satu masih kecil. Yang satu lagi sudah nikah, tapi masih tinggal di sini sama ibu. Ibu juga nggak punya rumah sendiri, di sini tinggalnya di gubuk sama pemulung lainnya," cerita Nenih.
Memulung dari Pagi sampai Sore
Sejak memutuskan terjun menjadi pemulung, Nenih tanpa pilihan. Setiap hari, ia mulai mengorek tumpukan sampah yang sudah diturunkan dari truk pengangkut sampah. Berbekal sebuah besi berbentuk melengkung dengan ujung tajam dan karung putih besar.
"Yang dicarinya plastik, kaleng, sama beling. Sehari paling dapat 15 kilogram. Nanti ada mobil yang ngambil barangnya," kata Nenih.
Ia menerima bayaran seminggu sekali. Semua hasil memulungnya dikumpulkan dulu dan dihitung totalnya. Kemudian hasil jerih payahnya itu akan dibayar oleh bandar sesuai dengan harga pasar.
"Ya paling seminggu Rp 200 ribu. Dulu mah bisa dapat Rp 400 ribu, tapi sekarang harga rongsok lagi turun. Alhamdulillah bisa dapat segitu juga," ucap Nenih.
Nenih mengakui banyak cerita pemulung menemukan benda-benda berharga saat mereka memulung. Seperti cincin serta kalung emas yang mungkin tak sengaja terbuang oleh pemiliknya hingga uang dengan nominal yang lumayan.
"Iya ada yang dapat, tapi nggak sering soalnya kan yang punya juga pasti ngecek sebelum buang sampah. Yang dapat mah mungkin lagi rezekinya. Kalau ibu nggak pernah dapat, dapat ini cincin juga bukan emas atau perak, tembaga sepertinya mah," kata Nenih sambil menunjukkan cincin yang terpasang di jari tengahnya.
Nenih kini tak bisa beraktivitas seperti dulu. Ia mulai mengeluhkan kesehatannya kian menurun. Terutama rematik yang menyerang kakinya sejak beberapa bulan belakangan.
"Ini ibu lagi seringngerasain sakit rematik, jadi kerjanya juga jarang-jarang. Mau berobat nggak punya uang. Ya mudah-mudahan ada yang mau bantu bawa ibu berobat," harapNenih.
(mso/mso)