Kisah Guru Sukabumi Jadi Ortu Asuh Puluhan Anak Buruh Migran

Kisah Guru Sukabumi Jadi Ortu Asuh Puluhan Anak Buruh Migran

Siti Fatimah - detikJabar
Sabtu, 26 Nov 2022 11:30 WIB
Kisah Idris, guru dan orang tua asuh bagi anak buruh migran di Sukabumi.
Kisah Idris, guru dan orang tua asuh bagi anak buruh migran di Sukabumi. (Foto: Istimewa)
Sukabumi -

Kisah inspiratif datang dari seorang guru asal Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi. Tak hanya mengajar di sekolah negeri, perjuangannya mencerdaskan bangsa juga diberikan kepada anak buruh migran yang cenderung lepas dari perhatian.

Guru tersebut menjadi orang tua asuh dari puluhan anak buruh migran yang terancam masuk 'lingkaran setan' sebagai buruh sawit. Dia juga membangun asrama untuk tempat tinggal anak para buruh migran di Sukabumi.

Adalah Idris (38) warga Sindangpalay, Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi. Sosoknya sangat menginspirasi masyarakat karena hidup dalam kesederhanaan tapi menjadi tumpuan anak asuhnya. Berikut perjalanan Idris saat menceritakan kisah hidupnya kepada detikJabar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berawal dari Guru Honorer dengan Upah Rp 100 Ribu

Idris mengawal kariernya sebagai guru honorer pada 2004 di daerah pelosok Kabupaten Sukabumi, tepatnya di SDN Negla Asih, Desa Neglasari, Kecamatan Purabaya. Sekolah itu terletak di ujung perbatasan dan di pinggir Sungai Cikaso.

"Sekolah tersebut agak terisolir karena akses jalan ke sana hanya tanah saja. Kalau ke sekolah kita nggak bisa pakai motor, agak susah karena ada satu tanjakan, kalau hujan agak sulit menaiki jalan," kata Idris, Jumat (25/11/2022).

ADVERTISEMENT

"Pada saat itu saya digaji hanya Rp 100 ribu saja. Itu pun dibayarkan kalau dana BOS cair. Jadi menunggu, kadang-kadang dana BOS itu keluar tiga bulan atau empat bulan sekali tapi saya tetap mengajar di situ," sambungnya.

Meski jauh dan akses yang sulit ditempuh, Idris meyakini jika anak-anak di sekolah itu membutuhkan sosok guru yang mengajar dan membina mereka. Itu sebabnya ia bertahan mengajar di sana hingga tahun 2009.

"Kalau tidak ada guru siapa lagi yang akan mengajar. Di sana itu hanya ada dua guru, kemudian kalau ditinggalkan, mereka nggak ada guru akhirnya saya memutuskan untuk mengabdikan diri. Menghibahkan diri saya untuk mengajar selama lima tahun di sana," ucapnya.

Mengajar di Sekolah Indonesia Luar Negeri di Malaysia

Setelah pengabdian selesai di akhir tahun 2009, Idris kemudian mengikuti seleksi CPNS dan diterima sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tahun 2010. SDN Otista Kota Sukabumi menjadi sekolah pertama tempat Idris mengajar.

Singkat cerita, pada 2015 Idris menorehkan prestasi sebagai satu-satunya guru di Kota Sikabumi yang lolos seleksi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai guru di SILN dengan jumlah murid sekitar 14 ribu.

"Saya ditugaskan oleh Kemendikbud untuk menjadi guru di SILN di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Sejak 2015 saya mengajar di Malaysia sampai tahun 2019," ucapnya.

Jadi Orang Tua Asuh Anak Buruh Migran

Di sana ia mendapatkan banyak pengalaman hingga memunculkan ide untuk membantu anak-anak buruh migran di sana. Dia menceritakan, buruh migran yang bekerja di Malaysia hampir 90 persen berstatus ilegal. Bahkan, orang Malaysia menyebut mereka dengan sebutan Pati (Pendatang Asing Tanpa Identitas). Lama kelamaan pasangan buruh migran ikut ke Malaysia. Sepasang buruh migran akhirnya memiliki anak dan membesarkan anak di sana.

"Makanya banyak yang lahir dan besar di Malaysia. Kalau mereka tidak melanjutkan sekolah (setelah tingkat SMP) maka mereka itu lima tahun kemudian dikhwatirkan akan kembali ke ladang sawit dan menikah dengan buruh, punya anak dan cucu buruh sawit. Nah ini jadi lingkaran buruh sawit sangat kuat," ungkapnya.

Menurutnya, satu-satunya jalan untuk memutus mata rantai buruh sawit adalah dengan jalur pendidikan. Para anak buruh migran di Malaysia harus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. "Tetapi ada satu masalah di jalur pendidikan ini, masalahnya untuk jenjang SD atau paket A ke SMP atau paket B itu masih ada, tetapi saat masuk ke SMA itu nggak ada," sambungnya.

Di Malaysia, kapasitas murid di sekolah setingkat dengan SMA terbatas. Mereka hanya mampu menampung 180 orang padahal tiap tahunnya ada 1.000 siswa anak buruh yang lulus SMP. "Akhirnya muncul dari rekan-rekan guru, gerakan anak-anak (buruh migran) kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan. Sampai muncul program Adem Repatriasi, jadi anak-anak diberikan beasiswa oleh kementerian untuk melanjutkan sekolah di Indonesia, mereka dibiayai di sekolah yang sudah bermitra," ungkapnya.

"Tahun 2019 saat saya sudah purna tugas di Malaysia, saya membawa enam orang anak kemudian kita kerjasama dengan SMAN 5 dan disekolahkan di sana," tambah Idris.

Bangun Asrama untuk Anak Asuh Buruh Migran

Idris serius dengan tujuannya. Dia nekat membangun asrama berbentuk rumah dua unit dengan dua lantai di Jalan H. Hamid Cibuntu, Kelurahan Sindangpalay, Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi. Asrama itu digunakan oleh anak buruh migran putra dan putri.

Setidaknya ada 37 anak yang tinggal di asrama tersebut. 14 di antaranya sukses duduk di bangku kuliah dengan universitas ternama seperti UGM, Unpad, UPI hingga Untirta dengan beasiswa. "Membangun asrama sendiri dua buah rumah untuk putra dan putri kapasitas dua lantai. Itu saya bangun sendiri menggunakan uang pribadi, selesai tahun 2020-an," kata Idris.

"Sekarang anak-anak bisa nyaman tinggal di asrama yang sudah saya bangun. Saya juga menyiapkan wifi gratis untuk anak-anak mendukung pembelajaran," sambungnya.

Membutuhkan Bantuan Pendamping Life Skill

Idris menuturkan, saat ini pihaknya membutuhkan pendamping untuk membantu mendidik anak-anak asuhnya. Dia berharap pembinaan itu bisa menambah kemampuan anak asuhnya untuk hidup mandiri.

"Kita mau membuat program life skill ke depan untuk mengembangkan diri supaya mereka bisa bertahan hidup walaupun tidak melanjutkan kuliah. Kami sedang mencari teman-teman relawan yang mau memberikan ilmunya, life skill tentang digital atau tentang unit usaha yang bisa dikembangkan di lembaga kita," ucapnya.

"Kami juga sangat menunggu kolaborasi dari berbagai pihak untuk memberikan teknologi atau berwirausaha, kami membutuhkan pelatih dan pendamping yang bisa mendampingi anak-anak," tambahnya.

Motivasi Idris, Anak Petani yang Kini jadi Ayah Asuh Anak Migran

Semua hal yang telah ia lakukan tentu ada motivasinya. Idris menuturkan, ia hanya anak petani yang ingin memberikan kesempatan bagi anak-anak lain untuk mengenyam pendidikan. Dulu, Idris harus bersusah payah dalam menuntut ilmu. Dia terbiasa dengan hidup keras, berangkat ke sekolah puluhan kilometer sambil berjualan.

"Kenapa saya mau mengurus mereka sampai kuliah sebenarnya sesederhana dulu saya waktu kecil saya anak buruh tani, tidak tahu pendidikan bahkan orang tua saya buta huruf. Alhamdulillah anak buruh tani yang buta huruf itu, hari ini sudah punya ijazah S2," tuturnya.

Selain itu, ia juga merasa jika anak-anak buruh migran penting untuk memiliki pendidikan. Sehingga, kata dia, mereka bisa mengubah kehidupan sosialnya dan membanggakan bagi keluarganya. "Yang memotivasi saya menjadi orang tua asuh bagi anak-anak ini sebenarnya sederhana. Saya ingin lebih bermanfaat bagi orang lain karena hidup tidak lama," kata Idris.

"Mudah-mudahan dengan melakukan hal kecil ini bisa mendorong mereka supaya lebih baik sehingga ke depan anak-anak ini bisa mengubah status strata sosialnya dan membahagiakan orang tuanya," tutupnya.

(iqk/iqk)


Hide Ads