Kisah Guru Leni Meniti Bahaya Lewati Jembatan Miring Sukabumi

Kisah Guru Leni Meniti Bahaya Lewati Jembatan Miring Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Rabu, 24 Jul 2024 11:30 WIB
Leni Sumarni (40) guru SDN Cibadak, Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, saat melintasi jembatan miring Sungai Cikaso.
Leni Sumarni (40) guru SDN Cibadak, Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, saat melintasi jembatan miring Sungai Cikaso. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Leni Sumarni (40) guru SDN Cibadak, Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, tergagap menahan kesedihan saat menceritakan momen horor melintasi jembatan miring Sungai Cikaso.

Tangisan Leni bukanlah tangis ketakutan, namun kesedihan yang kembali ia rasakan belasan tahun silam saat awal meniti pengabdian sebagai seorang guru di Kecamatan Lengkong. Leni hapal benar bagaimana situasi perlintasan sungai mulai dari jembatan bambu, naik sampan hingga jembatan gantung besi yang akhirnya kini nyaris putus.

"Tiap mau melintas hati tidak tenang, berdebar juga karena takut ke bawah nyemplung, saya bekerja ke Kecamatan Lengkong dari mulai tahun 2003 semasa gadis keluar SMA sampai sekarang punya anak dua," kata Leni mengawali kisahnya kepada detikJabar, Selasa (23/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Leni kemudian menceritakan bagaimana dulu jembatan tersebut terbuat dari bambu, kerap hanyut terbawa banjir. Sampai ia pernah merasakan melintasi sungai meskipun ketinggian air mencapai dada.

"Dulu itu memakai kayu bambu yang ketika air meluap maka jembatan terbawa oleh air, sehingga saya harus melewati air deras menyeberangnya ke bawah ke air sampai segini (menunjuk dada) ketika hamil 7 sampai 9 bulan masih bisa menyeberang sungai ini dengan kondisi seperti itu," tuturnya.

ADVERTISEMENT

"Di saat jembatan tidak ada, dulu kerap ada warga yang bantu saya menyeberang sungai, pernah juga dibuatkan sampan katanya biar ibu tidak kebasahan. Karena sebetulnya saya suka sedih ketika mengulang ke belakang," sambungnya.

Tangis Leni nyaris pecah, ia teringat saat akan menyeberangi sungai namun tidak ada siapapun yang membantunya. Sementara pikirannya menerawang ke anak didiknya yang menunggu di sekolah.

"Ketika saya mau menyeberang ke sini tidak ada siapa-siapa, sedangkan melihat waktu sudah jam tujuh lebih setengah delapan, belum ada siapa-siapa di sini sementara air begitu deras saya tidak bisa menyeberang. Saya sedih sementara anak-anak menunggu karena di SDN sini jumlah tenaga pendidiknya kurang ya mungkin karena memang anak muridnya sedikit," bebernya.

Leni semakin haru, ketika apa yang dirasakannya dulu kembali dirasakan bahkan oleh anak didiknya siswa kelas 1 SD. Tidak ada pilihan lain, karena akses penghubung terdekat hanyalah melewati jembatan tersebut.

"Kembali terulang apalagi teringat anak-anak saya juga, karena bukan hanya PAUD bukan SMA - SMP saja yang melewati jembatan ini, tapi ada anak didik saya juga yang SD di sini di Desa Neglasari. Tetapi Madrasah-nya di kampung Pamoyanan Desa Bantar Panjang (seberang sungai) karena saya juga mengajar di MD Miftahul Fallah di Pamoyanan," ungkapnya.

Leni mengungkap jalur lintasan lain memang ada, namun kondisi jalannya rusak parah dengan jarak yang memakan waktu sampai 3 jam. Sementara bila melintasi sungai, hanya butuh waktu 30 menit.

"Jalan lain ada, lewat Pabuaran, tetapi saya pernah mencoba kaki luka karena aksesnya begitu curam dan membahayakan memakan waktu sampai 3 jam. Kalau ke sini tidak sampai 30 menit, daripada menyita waktu terpaksa melewati jembatan ini, karena kondisinya begini motor saya simpan di seberang sana," pungkasnya.

(sya/iqk)


Hide Ads